Penampakan sejumlah peluru dan bahan peledak yang ditemukan di Bandung.//foto: youtube.com
JAKARTA. Pewartasatu.com – Presiden Asosiasi Ahli Pidana Indonesia (AAPI) Dr Muhammad Taufiq, SH, MH mempertanyakan sikap para penegak hukum dalam kasus ditemukannya senjata illegal, amunisi dan detonator/peledak di sebuah rumah kontaran di kota Bandung pekan lalu.
“Setahu saya undang-undang darurat tentang kepemilikan senjata illegal,yaitu UU No. 12 Tahun 1951 masih berlaku. Ancaman hukumannya pun tidak main-main. Pertama hukuman mati, kemudian seumur hidup, lalu pidana penjara selama 20 tahun,” kata Muhammad Taufiq dikutip dari youtube saluran “MT & Partner” Rabu 15 Maret 2022.
Pekan lalu, sejumlah amunisi, bahan peledak dan senjata api AL-47 ditemukan di sebuah rumah tua di tengah kota Bandung. Temuan ini bermula dari temuan BNPT. Polisi juga sudah memberi penjelasan tentang penemuan ini, yaitu sejumlah peluru tajam masihn aktif, beberapa kaliber, lalu bebepaba bhan TNT dan sepucuk senjatan api.
Sepertinya, kata Taufiq, hal ini dianggap sebagai peristiwa biasa saja, sementara di bagian lain orang yang membawa golok aja ditangkap, dengan tuduhan makar. “Bahkan terhadap orang yang membawa-bawa bendera (simbol-simbol tertentu-red) sekalipun.”
“Menjadi sebuah pertanyaan, kalau BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) menganggap ini (temuan senjata dan amunisi –red) sebuah kejadian biasa, kemudian tidak coba mengusut, tentu hal ini menjadi sebuah masalah besar,”kata advokat dari MT&Prtner Lawform Surakarta ini.
Menurut Taufiq, akan menjadi masalah besar apabila Kepolisian membuat standar ganda dalam penanggulangan dugaan-dugaan terorisme.
“Kalau kepolisian kemudian membuat standar ganda, hanya kepada orang-orang Muslim, begitu, yaitu dengan menyematkan sebutan terorisme, sementara kepada yang lain tidak. Itu akan menjadi masalah besar.”
Sebagai ahli pidana, M.Taufiq mengingatkan, sebenarnya pidana itu mengenai perilaku, kemudian dideskripsikan menjadi rumusan pasal-pasal.
Siapa yang berperilaku sesuai yang dimaksud rumusan pasal-pasal tersebut, orang itu dianggap melakukan kejahatan. Maka (rumusan) barang siapa di dalam pasal-pasal itu mengacu kepada orang.
“Maka menjadi pertanyaan apabila pasal-pasal itu hanya Adibombardikan kepada kelompok Islam, atau orang yang bertentangan dengan pemerintah, oposisi, yang kritis, sementara kepada mereka yang mendukung rezim, walau pun salah, tidak ada satu pun narasi terorisme yang dibangun,” tuturnya.
Taufiq menginginkan perlakuan yang sama. Kasus penemuan senjata, amunisi dan bahan peledak ini harus dibongkar. Rumah kontrakan itu dulu milik siapa,sekarang siapa, dan untuk siapa senjata itu.
“Kalau ada alasan bahwa bahan-bahan peledak itu untuk pertambangan, lalu senjata AK 47 itu untuk siapa,” kata pengajar Fakultas Hukum di salah satu perguruan tinggi swasta itu.
Dia menyatakan, orang-orang yang bertanggungjawab, siapa pun termasuk Djie Kian Han, kalau terbukti bersalah harus ditangkap. Kalau pemilik rumah atau senjata dan bahan peledak itu terbukti mau melakukan terror, layak dihukum mati.
Kalau dibiarkan, menurut Taufiq hanya akan menimbulkan tuduhan di masyarakat bahwa Negara ini hanya memusuhi umat Islam dan polisi hanya menjadi alat kekuasaan.
“Supaya sinyalemen itu tidak terbukti, supaya tuduhan itu dianggap tidak benar, maka harus dijawab dengan membawa orang itu (yang brertanggung jawab-red) ke persidangan (pengadilan).”
“Tunjukkan kepada mayarakat, jangan katakan pemiliki amunisi itu tidak ada niat, Niat itu ada atau tidak, harus dilihat di pengadilan,” demikian Taufiq.**