Pengamat Maritim: Eskalasi Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Perlu Perhatian Serius Pemerintah

JAKARTA, Pewartasatu.com – Sektor kemaritiman dalam kurun waktu pemerintahan Presiden Joko Widodo selama dua periode, di tahun 2022 ini memberi “kado istimewa” dengan dipilihnya Laksamana Yudo Margono sebagai Panglima TNI, yang tentu saja menjadi Ngin segar bagi sektor kemaritiman.

Hal ini dikatakan Pengamat Maritim dari Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas Strategic Center (IKAL SC), Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa SSiT., M.Mar, dalam keterangan persnya yang diterima di Jakarta, Sabtu (31/12/2022).

“Dengan terpilihnya Laksamana Yudo Margono menjadi Panglima TNI, menjadi angin segar bagi sektor maritim. Dan, boleh jadi pilihan Presiden Jokowi juga memenuhi harapan dari para penggiat maritim. Saya menyatakan langkah Presiden Jokowi memilih Laksamana Yudo Margono sebagai Panglima TNI sudah tepat,” kata Capt. Hakeng.

Menurutnya, dengan latar belakang Panglima TNI Laksamana Yudo Margono dari TNI Angkatan Laut diharapkan mampu membawa TNI menjaga wilayah Indonesia yang terdiri dari 17.499 pulau yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, dari  Miangas hingga Rote. Total wilayah Indonesia sekitar 7,81 juta kilometer persegi (km2). Dimana 5.80 km2 adalah lautan atau 67 persen wilayah Indonesia adalah perairan, 2/3 wilayah Indonesia adalah lautan.

“Sebagai Pengamat Maritim, saya mengharapkan Panglima TNI Laksamana Yudo Margono beserta jajaran TNI dapat ikut mewujudkan Indonesia Poros Maritim Dunia seperti yang dicita-citakan Presiden Jokowi. Dan, diharapkan pula Panglima TNI  dapat ikut mendukung Kebijakan Kelautan Indonesia yang terdiri atas 7 (tujuh) pilar, yaitu: Pengelolaan sumber daya kelautan dan pengembangan sumber daya manusia; Pertahanan, Keamanan, Penegakan Hukum, dan Keselamatan di Laut; Tata kelola dan kelembagaan laut; Ekonomi dan infrastruktur kelautan dan peningkatan kesejahteraan; Pengelolaan ruang laut dan perlindungan lingkungan laut; Budaya Bahari; dan Diplomasi Maritim,” paparnya.

Apalagi sambung Capt. Hakeng, persoalan kedaulatan wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia yang berada di perairan Natuna yang kaya akan sumber daya perikanan kerapkali menjadi incaran kapal-kapal ikan asing seperti dari China dan Vietnam. Ditambah lagi persoalan pemberian konsesi ZEE ke Vietnam yang tak kunjung menemui kesepakatan perlu mendapat pengawalan baik dari masyarakat maritim, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Kelautan dan Perikanan maupun TNI AL.

“Eskalasi di wilayah perairan Natuna akan terjadi mengingat potensi perikanan tangkap cukup besar. Karena itu perlu pengawasan dari pemerintah Indonesia untuk memberi perlindungan kepada nelayan Indonesia,” ujar Capt Hakeng.

Selain itu, ia juga ingin mengingatkan bahwa saat ini telah terjadi peralihan aktivitas dan perhatian dunia dari wilayah Mediterania dan Atlantik ke kawasan Indopasifik. Peralihan tersebut tentu saja mengakibatkan wilayah maritim Indonesia kembali menjadi perlintasan strategis.

“Samudera Hindia menjadi perlintasan strategis dan Indonesia yang sangat dekat. Karena itu Indonesia harus sadar dengan posisinya secara geopolitik dan geostrategis. Disini sangat dibutuhkan kekuatan matra TNI AL dengan dukungan dari matra TNI lainnya,” sebut Sekjend Dewan Pimpinan Pusat Forum Komunikasi Maritim (FORKAMI) ini.

Potensi Ekonomi Biru Berlimpah
Luasnya wilayah maritim Indonesia memang belum sepenuhnya dapat tertangani secara optimal, begitu juga dengan hasil perikanan tangkap yang belum sepenuhnya dimanfaatkan. Hal itu terjadi karena masih adanya keterbatasan sumber daya manusia Indonesia yang memberikan perhatian kepada dunia maritim.

Sebenarnya, menurut Capt. Hakeng, Indonesia bisa mewujudkan diri menjadi poros maritim dunia melalui ekonomi biru dari sumber daya protein ikan lautnya.

“Indonesia mempunyai sebelas Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI), antara lain perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut China Selatan, perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau, perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian Timur. Kesebelas WPPNRI tersebut memiliki sumber daya ikan tangkap yang jenisnya berbeda-beda,” ungkapnya.

“Oleh sebab itu, sudah saatnya Indonesia fokus kembali ke maritim. Saya mengusulkan, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, tidak berlebihan bila memposisikan laut menjadi pusat pemecahan dari berbagai persoalan bangsa Indonesia seperti pengentasan kemiskinan, penurunan angka pengangguran hingga pada persoalan kelaparan,” sambungnya.

Untuk mewujudkan hal itu, kata dia, dibutuhkan kerjasama antara semua pihak, baik pemerintah pusat dan daerah. Capt Hakeng juga menegaskan bahwa bukan hanya hasil tangkapan yang melimpah jadi perhatian. Tapi untuk sarana pendukung juga dibutuhkan, contohnya pelabuhan terpadu untuk perikanan tangkap.

“Di pelabuhan perlu juga dibangun pabrik pengolahan ikan, sehingga hasil ikan dapat langsung diolah. Dibutuhkan juga Gudang Penyimpanan Ikan berpendingin (Cold Storage) untuk menjaga kesegaran ikan sebelum sampai ke konsumen. Dan penting juga perlu dipikirkan pengadaan kapal penampungan (ship to ship) hasil tangkapan nelayan di tengah laut,” kata Capt. Hakeng.(**)

syarif: