MUNGKINKAH kemandirian ekonomi dapat dicapai dengan mengandalkan pembiayaan pembangunan nasional dari utang luar negeri? Pertanyaan ini penting untuk dijawab pemerintah atas jargon yang begitu menggelora dulu disampaikan saat kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) secara langsung untuk periode 2014-2019.
Dan slogan Trisakti dan Nawacita sebagai nama program yang dijanjikan akan dijalankan begitu menghinoptis calon pemilih yang terkesima dengan sosok calon pemimpin bangsa dan negara yang akan menjadi pengganti Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) kala itu, yaitu Joko Widodo. Tentunya tampilan sederhana yang kemudian dipublikasikan secara massif semakin menguatkan simbol, bahwa inilah calon pemimpin yang akan pro rakyat dan akan melakukan perubahan.
Namun, apa fakta yang terjadi selama 7 (tujuh) tahun jalannya roda pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo saat ini dengan pasangan Wakil Presiden pada periode pertama M. Jusuf Kalla (MJK), dan di periode kedua 2019-2024 bersama KH. Ma’ruf Amin (KHMA) tersebut?
Paling tidak uraian ini akan mengulas janji saat kampanye Pilpres terdahulu mengenai terminologi kemandirian ekonomi yang telah ditekadkan dikaitkan dengan realitas yang terjadi berdasarkan data dan informasi yang diterbitkan oleh lembaga atau institusi pemerintah, khususnya soal utang, penanggulangan kemiskinan dan pengangguran serta pendapatan per kapita penduduk.
Utang dan Kemiskinan
Pada masa berakhirnya periode kedua pemerintahan Presiden SBY, jumlah utang pemerintah berdasarkan catatan Kementerian Keuangan yaitu sejumlah Rp 2.608.78 Triliun. Tujuh tahun setelahnya di era pemerintahan Presiden Joko Widodo, Kementerian Keuangan mengumumkan posisi utang pemerintah per akhir Februari 2022 berjumlah Rp 7.014,58 Triliun atau setara dengan 40,17% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Artinya, terjadi peningkatan utang yang sangat drastis selama 7 (tujuh) tahun terakhir sejumlah Rp 4.405,8 Triliun atau hampir setara dengan jumlah alokasi APBN Republik Indonesia.
Lonjakan utang pemerintah dari tahun ke tahun selalu jadi isu sensitif dan politis di tengah kontestasi menuju Pemilihan Umum berikutnya, bahkan oleh sebagian partai politik yang berada dalam pemerintahan itu sendiri sebagai bagian dari pendukung kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Berada di dalam pemerintahan, turut serta menentukan arah dan prioritas pembangunan, tetapi disaat yang sama juga secara langsung maupun tidak langsung mengkritik kebijakan pemerintah sendiri, ibarat jeruk makan jeruk.
Utang pemerintah di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) memang terus mengalami kenaikan, dan itu terjadi sejak periode pertama pemerintahannya. Dalam satu tahun, tambahan utang Indonesia berkisar rerata Rp 1.296,56 Triliun jika didasarkan pada data akhir Desember 2019 yang tercatat Rp 4.778 Triliun. Maka itu, tidak dapat diterima begitu saja alasan atau apologisasi yang disampaikan oleh otoritas pemerintahan, bahwa utang itu terjadi karena adanya pandemi Covid-19, sebab lonjakan utang memang sudah terjadi jauh sebelumnya.
Sebelum menjadi Presiden RI pada masa kontestasi Pilpres, Tim Kampanye Jokowi sendiri dalam beberapa kesempatan dengan penuh janji dan semangat nasionalisme selalu menyampaikan wacana untuk mengurangi jumlah utang pemerintah. Faktanya, justru berkebalikan utang pemerintah berdasarkan data dari pemerintah sendiri justru terus mengalami kenaikan.
Bahkan dalam kurun waktu 2014 hingga 2019, pemerintah sudah mencetak utang baru sebesar Rp 4.016 Triliun. Namun begitu, sebaiknya publik juga harus melihat secara seksama apa manfaat dan dampak atas utang tersebut supaya juga jernih dalam menilai dan tidak distigmatisasi pihak yang anti utang.
Jumlah penduduk miskin sebagai bagian dari indikator program pro rakyat pada Tahun 2014 saat menerima tongkat estafet kepemimpinan dari Presiden SBY berjumlah 28,28 juta orang (11,25 persen) berkurang sebesar 0,32 juta, jika dibandingkan pada September 2013 sebesar 28,60 juta penduduk miskin. Setelah 7 (tujuh) tahun berjalan, jumlah penduduk miskin pada September 2021 berjumlah 26,50 juta orang, atau terdapat penurunan sejumlah 2,10 juta orang terhadap data akhir September 2014.
Penurunan persentase jumlah penduduk miskin tebesar terjadi di wilayah perkotaan yang pada bulan Maret 2021 sebesar 7,89 persen mengalami penurunan menjadi sebesar 7,60 persen pada September 2021 atau turun sebesar 0,29 persen saja. Tidak demikian halnya dengan keadaan kemiskinan di perdesaan, pada Maret 2021 jumlahnya sebesar 13,10 persen, kemudian turun menjadi 12,53 persen pada September 2021 atau menurun sebesar 0,57 persen, lebih tinggi penurunannya dibandingkan wilayah perkotaan.
Pengangguran dan Pendapatan
Selain utang dan kemiskinan, indikator lain yang dapat digunakan untuk evaluasi kinerja janji dan program pemerintahan adalah soal jumlah perubahan angka pengangguran dan pendapatan per kapita penduduk (PKP). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan Agustus 2014, jumlah pengangguran berjumlah 7,24 juta jiwa, dan jika dibandingkan dengan data bulan yang sama Tahun 2013, terjadi penurunan angka sejumlah 170.000 jiwa.
Sedangkan berdasarkan data bulan Agustus 2021, jumlah pengangguran di Indonesia berjumlah 9,10 juta penduduk atau terdapat kenaikan angka penduduk yang menganggur antara Tahun 2014-2021 sejumlah 1,86 juta jiwa, tapi jika dibandingkan angka pengangguran Tahun 2020 yang sejumlah 9,77 juta jiwa, maka capaian angka pengangguran Tahun 2921 masih lebih baik atau ada penurunan sejumlah 700.000 jiwa.
Data BPS juga menunjukkan tingkat pengangguran pada Februari 2022 mencapai 5,83 persen, meskipun capaian ini turun dibandingkan bulan Februari 2021 yang sebesar 6,26 persen dari jumlah angkatan kerja. Angka ini masih tercatat lebih tinggi dibandingkan Tahun 2014 yang hanya 7,24 juta jiwa, yaitu sejumlah 8,4 juta jiwa pada Februari tahun 2022 atau masih meningkat sejumlah 1,16 juta jiwa. Semakin meningkatnya pengangguran tentu akan berpengaruh pada produktifitas nasional dan capaian pendapatan per kapita penduduk Indonesia.
Memperhatikan data Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita pada Tahun 2014 dengan perhitungan tahun dasar 2010, yaitu sejumlah Rp 41,81 juta per kapita per tahun. Sementara itu, pendapatan per kapita penduduk Indonesia yang dicatatkan oleh BPS Tahun 2021 mengalami kenaikan, yaitu menjadi sebesar Rp 62,2 juta atau setara dengan US$ 4.349,5. Apabila dibandingkan dengan capaian Tahun 2014 saat periode awal pemerintahan Presiden Joko Widodo terdapat kenaikan pendapatan per kapita penduduk Indonesia sejumlah Rp 20,39 juta. Artinya, dengan angka pengangguran yang semakin meningkat, diikuti oleh kenaikan pendapatan per kapita penduduk Indonesia yang semakin besar.
Capaian ini bukanlah prestasi yang luar biasa jika acuannya adalah program kemandirian ekonomi, pro rakyat yang termaktub dalam Trisakti dan Nawacita, pasalnya tentu saja soal logika penurunan kemiskinan tersebut disertai oleh terjadinya peningkatan angka pengangguran, walaupun terjadi peningkatan pendapatan per kapita penduduk.
Hal ini disebabkan oleh peningkatan jumlah utang yang telah digelontorkan tidak menetes secara massif pada program-program pro rakyat yang dimaksud, justru program yang dijalankan pemerintah semakin memperlebar ketimpangan pendapatan masyarakat.
Anehnya, peningkatan pendapatan per kapita penduduk Indonesia yang sekaligus mengakibatkan adanya ketimpangan ekonomi di tengah masyarakat itu, justru tidak terjadi karena adanya pelaksanaan secara konsisten jargon kemandirian ekonomi, disebabkan oleh ketergantungan yang semakin besar proyek-proyek pembangunan berasal dari dana utang.
Lalu, apakah sebenarnya yang dimaksud dengan terminologi kemandirian ekonomi menurut perspektif pemerintahan Presiden Joko Widodo, apalagi dengan ketiadaan efek menetes ke bawah (trickle down effect)nya? Lebih jauh pertanyaannya adalah, apa mungkin merealisasikan kemandirian ekonomi atas data dan fakta semakin meningkatnya pengangguran dan ketimpangan pendapatan dengan terus menambah jumlah utang pemerintah?
Oleh: Defiyan Cori
Ekonom Konstitusi