JAKARTA, Pewartasatu.com – Dalam rangka memperingati 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKtP) yang dilaksanakan setiap tanggal 25 November hingga 10 Desember, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) pada tahun 2022 ini mengangkat tema “Bersatu Akhiri Kekerasan terhadap Perempuan” yang selaras dengan tema internasional “UNITE! Activism to End Violence Against Women and Girls”.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk bersama-sama melawan dan menolak segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
“Melalui peringatan 16 HAKTP tahun 2022, kami mengajak seluruh pemangku kepentingan agar bersatu dalam upaya memutus mata rantai kekerasan terhadap perempuan di Indonesia, yang saat ini masih menjadi fenomena gunung es. Kepada seluruh perempuan Indonesia Ayo Berani Bicara untuk mengungkapkan kasus kekerasan ini mulai dari sekarang. Jika ada kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, langsung hubungi call center 129 atau whatsapp 08111-129-129. Masyarakat bisa berperan sebagai saksi yang bisa melapor jika melihat ada tindak kekerasan di sekitar mereka. Kami akan mendampingi korban dan memastikan korban mendapatkan layanan yang cepat dan tepat sesuai dengan kebutuhan perempuan dan anak korban kekerasan,” tutur Menteri PPPA.
Kemen PPPA akan mengadakan serangkaian kegiatan, mulai dari lomba video kreatif anti kekerasan, dialog dengan perempuan yang berhadapan dengan hukum, kampanye anti kekerasan terhadap perempuan dan advokasi anti kekerasan terhadap perempuan, khususnya di lingkungan kampus. Dalam rangkaian kegiatan ini juga melibatkan stakeholder terkait, mitra kerja, serta pemerhati isu perempuan.
Berkaitan dengan isu kekerasan terhadap perempuan, Kemen PPPA pada tahun 2021 melakukan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) dan Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR). Berdasarkan SPHPN tahun 2021, tercatat bahwa 1 dari 4 perempuan usia 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik atau kekerasan seksual.
Sedangkan hasil SNPHAR Tahun 2021 menunjukkan bahwa 4 dari 10 anak perempuan pernah mengalami salah satu bentuk kekerasan sepanjang hidupnya, baik itu kekerasan fisik, seksual ataupun kekerasan emosional. Data tersebut menggambarkan bahwa permasalahan kekerasan terhadap perempuan dan anak masih menjadi tantangan bersama dan diperlukan sinergi, kolaborasi, serta kerjasama multipihak untuk menyelesaikan permasalahan atas maraknya kekerasan ini, utamanya melalui aksi-aksi pencegahan yang massif. Perempuan dan anak masih menjadi kelompok yang rentan mengalami berbagai bentuk kekerasan dan perlakuan diskriminatif lainnya.
Beberapa regulasi juga telah diterbitkan sebagai landasan hukum dalam memberikan perlindungan kepada masyarakat dari kekerasan, termasuk perempuan dan anak.
Seperti Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan undang-undang terkait lainnya. Secara khusus, kehadiran UU TPKS diharapkan dapat menjadi stimulator meningkatnya keberanian korban kekerasan seksual untuk melaporkan kekerasan yang dialami, sehingga mendapatkan akses keadilan dan pemenuhan atas hak-haknya.(**)