Perlunya kesungguhan menerapkan TOD dalam MRT Jakarta

…agar konsep TOD benar-benar diselaraskan dalam MRT, harus mengurangi egoisme sektoral baik dari segi swasta maupun pihak pemerintah.Jakarta – Barangkali banyak orang di Indonesia yang tidak mengenal Peter Calthorpe.

Pria warga negara Amerika inilah pencetus konsep "Transit Oriented Development"/TOD (konsep hunian terintegrasi transportasi massal) yang mulai populer sejak dekade 1990-an.

Pada tahun 1989, Peter yang tinggal di San Francisco itu mulai mengenalkan konsep "pedestrian pocket" (kantong pejalan kaki). Dalam konsep ini, aliran mobilitas warga seharusnya ramah terhadap pejalan kaki, memiliki simpul transit beragam moda transportasi, dan merupakan kawasan "mixed-use" (fungsi campuran).

Lulusan Yale School of Architecture ini juga pendiri Kongres Urbanisme Baru (CNU), lembaga advokasi yang sejak 1992 mempromosikan praktik pembangunan berkelanjutan.

Tujuan CNU adalah merestrukturisasi kebijakan publik dan praktik pembangunan yang mendukung bahwa kawasan seharusnya dirancang baik untuk pejalan kaki maupun transit moda transportasi serta kendaraan pribadi. Calon penumpang menunggu datangnya MRT di Stasiun MRT Chatuchak Park, Bangkok, Thailand, Minggu (10/2/2019). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan. (ANTARA FOTO/SIGID KURNIAWAN)
Selain itu, perkotaan juga seharusnya memiliki ruang publik dan fasilitas umum yang mudah diakses siapa saja. Rancangan perkotaan seharusnya juga merayakan nilai-nilai kesejarahan lokal, iklim, ekologi, dan praktik pembangunan yang tepat. Salah satu solusi yang ditawarkan adalah penerapan konsep TOD, yang sekarang telah mengglobal.

Berdasarkan sejarah, hingga pertengahan abad ke-20, rata-rata kota di berbagai penjuru dunia dirancang sebagai kawasan fungsi campuran yang bisa dilalui sepenuhnya oleh pejalan kaki.

Namun, karena kemajuan teknologi, terutama dengan produksi massal kendaraan pribadi dengan harga yang jauh lebih terjangkau, orang lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi.

Pola perancangan perkotaan juga mulai didominasi oleh praktik zonasi yang memisahkan antara kawasan residensial atau pemukiman, komersial, dan industri.

Akibat pemisahan tersebut, banyak orang yang terpaksa berjalan relatif lebih jauh daripada sebelumnya, untuk menuju tempat kerja atau tempat berbelanja kebutuhan sehari-hari.

Ketergantungan kendaraan

Salah satu dampak negatif yang muncul adalah ketergantungan masyarakat terhadap kendaraan pribadi, daripada berjalan kaki atau menggunakan angkutan umum.

Dengan konsep TOD, diharapkan warga dapat tinggal di jalan raya yang bisa dilalui dengan berjalan kaki, sekaligus memadukan berbagai fungsi campuran properti antara residensial dan komersial.

Selain itu, sejumlah prasarana dan bangunan penting seperti sekolah dan pertokoan juga mudah dicapai oleh masyarakat baik dengan berjalan kaki, bersepeda, atau menggunakan moda angkutan umum.

Sementara itu, Associate Principal MG2 (salah satu biro arsitek terbesar di dunia) Mark Taylor, dalam laman resmi perusahaan tersebut (https://mg2.com/insights/connectors-community-transit-oriented-development-changing-landscape/), menyatakan, proyek transit angkutan umum adalah infrastruktur besar, yang kerap menjadi tantangan bagi banyak komunitas.

"Meski transit adalah kunci untuk mengatasi persoalan, elemen-elemen infrastruktur lainnya mesti melengkapi sistem yang ada, termasuk jalur sepeda, rel kereta, taman, trotoar yang baik, kantong parkir, plaza dan pusat kota," katanya.

Mark Taylor mengingatkan bahwa agar TOD dapat berjalan dengan baik, harus ada alasan mengapa seseorang ingin berada di kawasan tersebut.

Untuk itu, kompleks tempat tinggal, perkantoran, ritel, hiburan dan pusat pelayanan kesehatan juga harus berada di kawasan yang berdekatan untuk menciptakan komunitas yang padu.

Ia juga menekankan pentingnya menemukan formula agar berbagai kawasan fungsi campuran dapat berpadu dengan baik serta dapat menyediakan apa yang dibutuhkan oleh anggota masyarakat dari perspektif fungsional masing-masing warga.

"Bagaimana ini semua dapat bercampur dengan baik dan bagaimana rancangan dari ruang yang ada kerap membuat proyek itu berhasil atau malah gagal," tuturnya.
  Dubes Kerajaan Belgia untuk Indonesia Stephane De Loacker saat menjajal MRT Jakarta untuk pertama kalinya di Jakarta, Selasa (12/2/2019). (Antara News/Aji Cakti)
Bagaimana dengan di Indonesia? Bagaimana pengembangan konsep TOD dikaitkan dengan Mass Rapid Transit (MRT) di Ibukota Jakarta yang dijadwalkan mulai beroperasi pada Maret 2019?

Dalam laman resmi MRT Jakarta (www.jakartamrt.co.id), disebutkan bahwa di Jakarta, terdapat lebih dari 18,6 juta kendaraan pribadi di Jakarta, sedangkan pengguna angkutan umum di Ibu Kota baru mencapai angka 24 persen. 
Ada sekitar 47,5 pergerakan orang di Jabodetabek. BPS DKI Jakarta pada 2015 mencatat setiap hari ada sekitar 1,4 juta pelaju dari daerah sekitar Ibu Kota. 

Kecenderungan perluasan di wilayah Jakarta-Bodetabek yang pesat dan kurang terkendali secara signifikan meningkatkan biaya transportasi, mengurangi tingkat mobilitas, dan menurunkan kualitas hidup.

Ironinya, para penghuni dan pelaju terpaksa mengeluarkan biaya hidup yang semakin lama semakin tinggi tanpa disertai peningkatan layanan publik yang pantas.

Untuk itu, PT MRT Jakarta mengembangkan konsep kawasan berorientasi transit (TOD) di beberapa stasiun yang ada di fase 1 koridor selatan-utara. TOD merupakan area perkotaan yang dirancang untuk memadukan fungsi transit dengan manusia, kegiatan, bangunan, dan ruang publik yang bertujuan untuk mengoptimalkan akses terhadap transportasi publik sehingga dapat menunjang daya angkut penumpang.

Delapan prinsip

Dalam mengembangkan perencanaan TOD, PT MRT Jakarta menggunakan delapan prinsip, antara lain pengembangan fungsi campuran dalam radius tempuh jalan kaki dari setiap stasiun, yaitu fungsi komersial, perkantoran, kelembagaan, hunian, dan fasilitas umum.

Prinsip lainnya adalah kepadatan tinggi (memaksimalkan kepadatan dan keaktifan di sekitar stasiun transit) yang sesuai dengan daya dukung kawasannya, peningkatan kualitas konektivitas, peningkatan kualitas hidup, keadilan sosial, keberlanjutan lingkungan, ketahanan infrastruktur, dan pembaruan ekonomi.
   
Dalam pembangunan MRT Jakarta fase 1 koridor selatan – utara ini, PT MRT Jakarta sedang mengembangkan rencana induk kawasan transit terpadu di berbagai stasiun, yaitu Stasiun Lebak Bulus, Stasiun Fatmawati, kawasan Cipete (yang mencakup Stasiun Cipete, Stasiun Haji Nawi, Stasiun Blok A), kawasan Blok M (termasuk Stasiun Sisingamangaraja), dan Stasiun Dukuh Atas. 

Pemerintah DKI Jakarta pun telah memberikan mandat kepada PT MRT Jakarta untuk menjadi operator utama pengelola kawasan TOD di delapan stasiun, yaitu Stasiun Lebak Bulus, Stasiun Blok M, Stasiun Senayan, Stasiun Istora, Stasiun Bendungan Hilir, Stasiun Setiabudi, Stasiun Dukuh Atas, dan Stasiun Bundaran Hotel Indonesia.

Kehadiran konsep TOD yang memiliki sejumlah fasilitas penunjang mobilitas penumpang serta memiliki sistem transportasi pengumpan dari area tersebut diharapkan akan meningkatkan jumlah pengguna atau calon penumpang transportasi berbasis rel kereta ini sehingga masyarakat dapat mulai meninggalkan penggunaan kendaraan pribadi dalam mobilitas sehari-harinya.

Sedangkan kehadiran konsep transportasi terintegrasi seperti di Stasiun Dukuh Atas, akan mengatur arus penumpang yang menggunakan lima moda tranportasi berbeda di kawasan ini, yaitu MRT Jakarta, Bus Rapid Transit (BRT) Transjakarta, kereta bandara (railink), kereta komuter (commuterline), dan kereta Light Rapid Transit (LRT) yang sedang dikembangkan oleh pemerintah. 

Direktur Utama PT MRT Jakarta, William Sabandar, menyatakan bahwa pengembangan kawasan TOD bakal memberikan banyak manfaat, seperti mengurangi volume kendaraan sehingga juga akan menurunkan tingkat polusi.

Selain itu, warga yang tinggal di kawasan TOD juga diharapkan tidak lagi bergantung kepada kendaraan bermotor dan lebih memilih berjalan kaki atau bersepeda.

Ke depannya juga akan ada peraturan gubernur yang bakal menjadi payung hukum dalam melakukan pembangunan kawasan TOD yang terkait dengan MRT tersebut.

Harus terintegrasi

Pengamat dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Darmaningtyas menyatakan, MRT Jakarta harus dapat benar-benar terintegrasi dengan konsep TOD atau pengembangan kawasan yang memudahkan orang-orang di dalamnya untuk berpindah dari satu titik ke titik yang lainnya.

"Selama ini belum ada langkah kongkrit penerapan TOD (dalam MRT Jakarta)," kata Darmaningtyas.

Agar konsep TOD benar-benar diselaraskan dalam MRT, harus mengurangi egoisme sektoral baik dari segi swasta maupun pihak pemerintah.

Ia mencontohkan, perpaduan TOD-MRT yang baik dapat dilihat di negara tetangga, Singapura, di mana akses untuk MRT juga berada di balik berbagai kawasan komersial seperti perkantoran dan pertokoan.

"Orang yang keluar dari kereta MRT bisa langsung ke kantor," imbuhnya.

Untuk itu, sebaiknya berbagai pihak benar-benar dapat memikirkan penerapan TOD yang pas untuk bisa menyelaraskan konsep tersebut dengan MRT Jakarta.

Sementara itu, pengamat transportasi Universitas Soegijapranata, Djoko Setijowarno menyatakan, penerapan konsep TOD yang dilakukan di sejumlah titik di Jabodetabek masih salah kaprah dan kurang sesuai.

"Konsepsi TOD diaplikasikan berbeda dengan konsep yang sebenarnya," kata Djoko.

TOD yang sebenarnya adalah konsep pengembangan suatu wilayah yang berorientasi transit transportasi yang lebih mengedepankan perpindahan antarmoda transportasi dengan berjalan kaki atau upaya yang tidak menggunakan kendaraan bermotor.

Namun di Indonesia, menurut dia, konsep TOD lebih diterjemahkan dalam membangun apartemen dan gedung bisnis di stasiun kereta.

"Kendali TOD di pemerintah atau pemda bukan pebisnis," katanya.

Ia berpendapat bahwa pada saat ini di Jabodetabek, pemerintah hanya berperan dalam pemberian izin bangunan saja.

Kolaborasi moda

Untuk itu, agar konsep TOD bila ingin diterjemahkan ke dalam MRT maka seharusnya manajemen MRT bekerja sama dengan berbagai moda angkutan umum lainnya, seperti bus kota.

Selain itu, dalam kerja sama tersebut, perlu pula dipertimbangkan apakah terdapat akses yang mudah bagi pejalan kaki untuk berpindah, misalnya dari MRT ke moda busway atau transjakarta.

Senior Associate Director Research Colliers International (konsultan properti) Ferry Salanto menyatakan, penerapan TOD dapat menambah pemasukan bagi MRT Jakarta.

Dengan adanya konsentrasi antara kawasan pemukiman dan komersial seperti itu bisa memacu properti yang memudahkan untuk mengakses sehingga menjadi tujuan sehingga juga dapat meningkatkan pendapatan dari berbagai stasiun MRT.

Dengan penerapan TOD yang tepat, maka beragam properti dapat disewakan di titik-titik konsentrasi tersebut sehingga harapannya pemasukan itu juga bisa digunakan untuk menyubsidi biaya MRT.

Dengan begitu, melesatnya integrasi konsep antara TOD dengan moda transportasi massal seperti MRT, ke depannya yang menjadi permasalahan bukan lagi jarak tempuh, tetapi lebih kepada waktu tempuh warga.

Tentunya, beragam masukan itu juga membuat berbagai pihak terkait harus benar-benar dapat memikirkan penerapan keselarasan antara TOD dengan moda MRT Jakarta, agar tujuan yang diinginkan dapat sungguh-sungguh tercapai.
Baca juga: TOD, "magnet" integrasi dan bisnis MRT
Baca juga: Ini kata pakar transportasi soal TOD yang berhasil

Baca juga: MRT dinilai jadi tren moda transportasi Jakarta
 

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Royke Sinaga
COPYRIGHT © ANTARA 2019

Diana Sari: