JAKARTA, Pewartasatu.com – Executive Vice President Gas dan BBM PLN Rachmat Asyari mengatakan, bahwa tarif listrik di Indonesia masih cukup kompetitif. Hal ini kata dia membuktikan bahwa harga keekonomian tarif listrik masih kompetitif dan masih mampu berperan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional menembus angka 6 persen.
Hal ini disampaikan Rachmat dalam diskusi Arah Baru Industri Hulu Migas di Hotel Sultan Jakarta, Kamis (25/8/22).
“Data PLN Mei 2022 menunjukkan bahwa tarif listrik di Indonesia lebih murah dari negara-negara lain di Asia Tenggara. Saat ini rata-rata tarif listrik di Indonesia tercatat sebesar Rp. 1.445 per kWh untuk pelanggan rumah tangga nonsubsidi,” katanya.
Sementara pasokan gas untuk pembangkit PLN menurut Rachmat saat ini lebih banyak disuplai dari lapangan Tangguh Papua.
Sesuai dengan amanah RUPTL, lanjut dia, PLN akan lebih banyak membangun pembangkit hijau sehingga secara bertahap mengurangi peran PLTU batubara.
“PLN menargetkan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Sebesar 14 persen. Dengan harga gas USD 6 per mmbtu harga listrik bisa kompetitif. Yang paling penting keandalan pasokan gas tetap terjaga,” paparnya.
Ia menegaskan, bahwa gas jangan hanya dijadikan untuk komonditas semata tapi harus dijadikan penggerak untuk pertumbuhan ekonomi nasional.
Dengan adanya kebijakan harga khusus gas untuk industri tertentu, termasuk untuk listrik diharapkan berdampak signifikan untuk industri dalam negeri.
“Jika dijadikan komonditas maka yang beruntung negara lain. Dengan memasok gas ke industri domestik maka sirkular ekonominya akan sangat besar,” tutup Rachmat
Sementara Direktur Penerimaan Negara Bukan Pajak Sumber Daya Alam dan Kekayaan Negara Dipisahkan (PNBP SDA dan KND) Kementerian Keuangan, Kurnia Chairi mengatakan, pihaknya akan meninjau kebijakan harga gas alam untuk industri yang dipatok sebesar US$6 per MMBTU. Hal ini untuk mengantisipasi harga minyak serta gas alam dunia yang terbilang cukup tinggi belakangan ini.
“Dengan kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) yang membuat terjadinya penurunan harga gas, maka terjadi pula penurunan penerimaan Pemerintah serta dana bagi hasil migas ke daerah,” kata Kurnia.
Kendati demikian, kata dia, ada juga benefit dari sisi industri-industri yang bisa mendapatkan harga gas murah sehingga ongkos produksinya ikut turun dan tentunya dapat menarik permintaan produksi yang semakin tinggi dari para konsumen.
“Ini tentu akan kita review atau lihat kembali, bagaimana nanti pengaruhnya kepada penerimaan negara, dari sisi PNBP kalau di kami. Kemudian kalau dihubungkan dengan substansi dan maksud kebijakan harga gas 6 dollar, ini juga perlu kita bandingkan dengan manfaatnya,” papar Kurnia.
Saat ini, lanjut dia, sedang dan terus dilakukan evaluasi terkait hal ini. Jadi, evaluasi saat ini terus dilakukan untuk melihat sejauh mana benefit-seyogyanya lebih besar dari cost atau pengorbanan yang dikeluarkan dari sisi pendapatan negara.
Dia membeberkan, sumber daya minyak dan gas bumi memang memegang peranan sangat penting dalam PNBP. Di tahun 2021, total penerimaan negara bukan pajak sumber daya alam migas ini mencapai Rp 98 triliun atau 21,3 persen dari total keseluruhan PNBP.
“Komposisi ini dilihat dari tahun ke tahun stabil, sama ya, di atas 20 persen kira-kira kontribusi migas terhadap PNBP secara keseluruhan,” ujarnya.(**)
Tag: Tarif Listrik Kompetitif, RUPTL, PLN