Puasa Syawal dan Hukum yang Berbeda, Begini Penjelasannya

Ilustrasi  sebuah keluarga yang sedang makan bersama /pixabay

 

JAKARTA. Pewartasatu. com — Mengacu pada hadits shahih riwayat Imam Muslim: Barang siapa berpuasa Ramadhan kemudian dilanjutkan dengan enam hari dari Syawal, maka pahalanya seperti pahala berpuasa setahun.

Dengan demikian, status hukum puasa Syawal adalah sunnah. Tapi, ini berlaku  bagi orang yang tak memiliki tanggungan puasa wajib, baik qadha puasa Ramadhan atau puasa nazar.

Puasya Syawal hukumnya berbeda-beda. Bagi mereka yang punya utang puasa Ramadhan karena uzur (misalnya sakit, perjalanan jauh, atau lainnya), status hukum puasa Syawal itu berubah menjadi makruh.

Namun, bagi mereka yang tidak melaksanakan puasa Ramadhan dengan sengaja atau karena kesengajaan, status hukumnya menjadi haram. Dia dianjurkan, sebaiknya, tunaikanlah dulu puasa wajib, baru kemudian puasa sunah Syawal.

Mereka yang berpuasa wajib di bulan Syawal tetap memperoleh keutamaan puasa Syawal meski pahalanya tak sebesar yang disebutkan hadits di atas.

Sebagian ulama berpendapat, bila luput menunaikan puasa sunah Syawal di bulan Syawal karena halangan tertentu, seseorang boleh mengqadha puasa enam hari puasa Syawal pada 6 hari di bulan lain. ( Al-Khatib as-Syarbini, Mughnil Muhtaj, I: 654 ).

Ketentuan Waktu Puasa Syawal

Kapan puasa Syawal dimulai? Idealnya tentu saja enam hari berturut-turut persis setelah hari raya Idul Fitri, yakni tanggal 2-7 Syawal.

Tapi orang yang berpuasa di luar tanggal itu, sekalipun tidak berurutan, tetap mendapat keutamaan puasa Syawal seakan puasa wajib setahun penuh.

Karena itu, seseorang diperkenankan menentukan puasa Syawal, misalnya tiap hari Senin dan Kamis, melewati tanggal 13, 14, 15, dan seterusnya selama masih berada di bulan Syawal.

Seandainya seseorang berniat puasa Senin-Kamis atau puasa ayyamul bidl (13,14, 15 setiap bulan hijriah), ia tetap mendapatkan keutamaan puasa Syawal sebab tujuan dari perintah puasa rawatib itu adalah pelaksanaan puasanya itu sendiri terlepas apa pun niat puasanya. (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj).

Niat Puasa Syawal

Tak sebagaimana puasa Ramadhan, niat puasa Syawal tak mesti dilakukan di malam hari atau sebelum terbit fajar. Mereka yang malam harinya tak berniat, tapi mendadak di pagi atau siang hari ingin mengamalkan puasa Syawal, diperbolehkan baginya berniat sejak ia berkehendak puasa sunnah saat itu juga.

Tentu saja dengan catatan, sejauh yang bersangkutan belum makan, minum, dan hal-hal lain yang membatalkan puasa sejak subuh.

Niat tersebut cukup digetarkan di dalam hati bahwa ia bersengaja akan menunaikan puasa sunah Syawal. Tanpa mengucapkan niat secara lisan, puasa sudah sah. Untuk memantapkan, ulama menganjurkan melafalkannya sebagai berikut:

Di malam hari; nawaitu shauma ghadin ‘an adâ’i sunnatis Syawwâli lillâhi ta‘âlâ. Artinya: Aku berniat puasa sunnah Syawal esok hari karena Allah Taala.

Siang hari; nawaitu shauma hâdzal yaumi ‘an adâ’i sunnatis Syawwâli lillâhi ta‘âlâ. Artinya: Aku berniat puasa sunah Syawal hari ini karena Allah Taala.

Membatalkan Puasa

Mendadak berbuka sebelum maghrib, astsu bolehkah berhenti puasa di tengah jalan karena ada alasan tertentu, misalnya karena sedang bertamu atau menghormati tamu? Boleh.

Rasulullah pernah menegur sahabat saat bertamu dan disuguhi makanan tapi menolak karena ia sedang berpuasa sunah. Nabi pun memintanya membatalkan dan mengqadhanya di lain hari (lihat hadits riwayat ad-Daruquthni dan al-Baihaqi).

Para ulama merumuskan, ketika tuan rumah keberatan atas puasa sunnah tamunya, maka hukum membatalkan puasa sunah baginya untuk menyenangkan hati (idkhalus surur) tuan rumah adalah sunnah karena perintah Nabi dalam hadits tersebut.

Bahkan dalam kondisi seperti ini dikatakan, pahala membatalkan puasa lebih utama daripada pahala berpuasa. (Lihat: Abu Bakar bin Syatha Ad-Dimyathi, I’anatut Thalibin, III, halaman: 36).

Bila ada indikasi kuat puasa kita tak mengganggu perasaan orang lain atau tak menimbulkan kendala-kendala untuk sesuatu yang juga penting, sebaiknya puasa dituntaskan hingga maghrib.

Bila yang terjadi sebaliknya, maka boleh dibatalkan karena masih ada alternatif hari lain untuk menunaikannya. ***

Sumber: jatim.nu.or.id/nu online/ 220503

 

ramly amin:
whatsapp
line