Cendekiawan muslim penulis Kitab Tafsir Al-Misbah, Pendiri Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ), Muhammad Quraish Shihab. (foto: instagram/pewartasatu.com)
JAKARTA. Pewartasatu.com — Setiap manusia pasti memiliki nafsu. Apa hubungannya nafsu dengan Ramadhan?
Profesor Quraish Shihab menjelaskan bahwa salah satu hakikat puasa adalah mengendalikan nafsu, bukan membunuh nafsu.
Mengendalikan nafsu adalah kunci utama dalam beribadah puasa.
“Jadi nafsu itu dikendalikan bukan dibunuh atau dicegah sama sekali. Nah, puasa tujuannya untuk itu,” kata Prof Quraish dalam tayangan Shihab & Shihab (2) bertajuk Nafsu, Selasa April 2022.
Alumni Universitas Al-Azhar Kairo ini menjelaskan bahwa dalam beberapa kesempatan, nafsu menjadi suatu kebutuhan bagi manusia. Misalnya, ketika mendapat kesulitan, kesusahan, nafsu dibutuhkan untuk kekuatan bertahan hidup.
“Bukan mematikan, nafsu kita butuhkan,” terangnya.
“Ada penjajah memasuki negeri kita, nafsu amarah harus muncul untuk mengusirnya.”
“Contoh lainnya adalah apabila kita lapar maka kita membutuhkan nafsu makan, namun tetap harus dikendalikan,” jelas penulis Tafsir Al-Misbah itu.
Selanjutnya, dengan terperinci Qurasih Shihab menerangkan jenis-jenis nafsu yang termaktub dalam Al-Qur’an.
Pertama, nafsu muthmainnah (jiwa yang tenang). Nafsu jenis ini dikisahkan Nabi Saw kepada seorang mukmin yang senantiasa bersyukur dan bersabar.
“Apapun yang terjadi dia tenang. Nabi melukiskan seorang mukmin itu selalu menakjubkan. Kalau dia mendapat nikmat bersyukur, kalau dia kena musibah dia bersabar, sehingga dirinya selalu tenang,” tutur Pendiri Pusat Studi Al Quran (PSQ) itu.
Kedua, nafsu lawwamah atau nafsu yang selalu mengecam ketika melakukan dosa.
Maksudnya, adalah nafsu yang menyadarkan seorang mukmin untuk tidak mengulangi keburukan yang sama.
“Jadi, dia melakukan dosa, tapi tidak lama kemudian dia sadar bahwa itu sebenarnya buruk sehingga dia kecam jiwanya,” jelas Quraish menerangkan.
Di urutan terakhir, kata Prof Quraish, adalah nafsu ammaratu bissuu atau nafsu yang selalu mendorong untuk berbuat buruk. Nafsu ini memiliki kriteria tak pernah puas/serakah.
“Nafsu tersebut layaknya seorang anak kecil yang enggan disapih oleh ibunya. Manusia sebagai pengendali harus tegas dalam menghadapinya, semata-mata untuk kebaikan,” ucap penulis buku Membumikan Al-Qur’an itu.
Sumber: nu online/ nu.or.id