Ekonomi

Rhenald Kasali: PHK GoTo Bukan Karena Resesi

JAKARTA, Pewartasatu.com – Pakar bisnis Rhenald Kasali menjelaskan, PHK di Goto tak ada hubungannya dengan resesi ekonomi global. Menurutnya, ancaman resesi global yang terus didengungkan, kalau dipercaya, bisa menimbulkan resesi sungguhan. Eksekutif yang kurang piawai bisa gegabah melakukan pemotongan besar-besaran, dan nanti bisa sebaliknya: menimbulkan Distrust dan penurunan kinerja.

Rhenald menyayangkan pernyataan sejumlah pihak yang gegabah menyebarluaskan ketakutan resesi yang seakan-akan sudah di depan mata. “Padahal sesuatu itu belum terjadi, tapi kita sudah dipaksa mempercayainya dan seakan sudah merasakannya. Itu namanya Trust Recession, bukan Economic Recession,” kata Rhenald dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (19/11/2022).

Menurutnya, untuk membuat publik percaya ada pihak yang mengkaitkan dampak ekonomi dari resesi akibat pandemi yang lalu, dengan resesi tahun depan yang konon sudah dirasakan di Jawa Barat. Dikabarkan, katanya, sudah ribuan pekerja tekstil, garmen dan alas kaki yang tujuannya ekspo terdampak PHK.

Berita yang tak kalah heboh muncul siang ini. Di mana Goto dikabarkan baru saja mengumumkan PHK terhadap 1300 orang atau sekitar 12% dari karyawannya. Hal ini membuat semua orang berpaling pada ancaman resesi yang sudah gencar disampaikan sejumlah pihak.

Goto menyatakan, keputusan sulit ini tidak dapat dihindari (18/11/2022). Dijelaskan, tantangan makro ekonomi global berdampak signifikan bagi para pelaku usaha di seluruh dunia. Apalagi kemarin Pemerintah Inggris mengumumkan secara resmi memasuki resesi.

Menurut pakar ekonomi bisnis UI ini, resesi ada rua macam. “Ada Economic Recession seperti yang dialami Inggris dan ada Trust Recession yang sekarang dipaksakan ke dalam otak kita seakan-akan resesi terjadi di sini,” tambah penggagas Rumah Perubahan Jakarta Escape ini.

Lebih jauh ia mengatakan, Economic Recession adalah terminologi makro, yang ditandai dengan menurunnya pertumbuhan ekonomi (negatif), dua kuartal berturut-turut.

Rhenald menjelaskan, dalam ekonomi makro, resesi bukanlah sebuah aib. Ia merupakan bagian alami pergerakan ekonomi, yang bersifat dinamis. Kadang perekonomian itu naik, kadang turun.

“Yang penting, saat turun lakukan langkah-langkah preskriptif secara disiplin. Lagi pula kalaupun resesi, dunia tak akan resesi selamanya, kecuali mereka terlibat dalam konflik (perang) secara berkelanjutan,” tambah pendiri Rumah Perubahan ini.

Menurutnya, yang ramai dibincangkan adalah resesi kedua yang dikenal sebagai Trust Recession, semacam quasi recession (resesi semu/palsu).

“Ini adalah sebuah gejala psikologis yang datang dari rasa cemas atau takut yang berlebihan (dari orang yang menarasikan atau yang menyebarluaskan). Kadang gejala ini juga disebut sebagai the negativity bias. Belum lagi resesinya datang, tapi bayangan gelapnya sudah disambut, dipeluk dan dipamerkan sebagai hantu hitam yang “keren”,” paparnya.

“Kalau masyarakat kadung percaya dan ketakutan, maka pengusaha akan melakukan deep cut (memotong anggaran, menutup usaha, menghentikan investasi, ekspansi atau berpromosi, melakukan penghematan, PHK, mengurangi stok, bahkan malas melakukan apa-apa). Dan akhirnya bukan saja resesi, melainkan terjadi stagnasi dan depresi.” Imbuhnya.

Kalau benar Goto terdampak gejolak ekonomi global, tentu kinerjanya buruk, bahkan rugi. Faktanya, pada akhir kuartal kedua 2022, perusahaan berhasil melakukan penghematan biaya struktural sebesar Rp 800 miliar.

“Bahwa pasca pandemi orang tak segencar berbelanja online seperti sebelumnya, itu bisa saja terjadi. Tapi Goto punya kekuatan ekosistem keuangan yang solid mulai dari Midtrans sampai Moka yang menjamin solusi Online-Offline (O2O),” tukasnya.

Ia mengatakan, yang perlu diwaspadai sebenarnya bukan dampak resesi, tetapi dampak disrupsi yang akan menghilangkan sekitar 40% lapangan kerja menyusul kemajuan robotisasi, sehingga biaya robot telah turun 65% dalam 10 tahub belakangan ini sementara biaya upah manusia rata-rata naik 8.5% pertahun.

“Dampak pengurangan SDM secara permanen akibat disrupsi digital ini sudah harus kita antisipasi mulai dari sekarang. Perhatikan, dulu setiap 1% pertumbuhan ekonomi bisa menciptakan sekitar 200 ribu lapangan kerja. Ke depan, paling tinggi sekitar 90 ribu. Perusahaan juga harus disadarkan bahwa keinginan bekerja fulltime generasi Z sudah di bawah 50%,”
pungkasnya.(**)

Leave a Comment