RKHUP “Bermasalah” Disahkan Jadi UU, AJI Lancarkan Demo Daring & Luring

Poster-poster pertanda masih besar dan banyaknya penolakan masyarakat terhadap RKUHP disahkan menjadi undang-undang. /Foto: instagram@yayasanlbhindonesia.

JAKARTA. Pewartasatu.Com – Dengan mengabaikan masih besar dan banyaknya penolakan masyarakat, terutama dari kelompok masyarakar sipil, DPR RI mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi Undang-undang (UU).

Pengesahan RKHUP yang dapat dikatakan “masih bermasalah”ini — setidaknya di mata masyarakat sipil dan pers — dilakukan melalui rapat paripurna DPR yang dipimpin Wakil Ketuanya, Sufmi Dasco Ahmad, yang juqa Wakil Ketua DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra, Selasa (6/12).

Setelah menanyakan kepada seluruh anggota sidang, Sufi kemudian menyatakan seluruh fraksi di DPR menyetujui pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) sebagai Undang-Undang.

Sufmi Dasco pun mengetukkan palu sebagai tanda sahnya RKUHP jadi Undang-undang.

Namun sebelumnya, seorang anggota DPR mewakili Fraksi PKS, Iskan Qolba Lubis memutuskan meninggalkan ruang rapat Paripurna setelah terlibat debat dengan Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad selaku pemimpin sidang.

Politisi PKS tersebut sempat meminta waktu bicara selama tiga menit. Namun tidak mendapatkannya, lalu menyatakan akan meninggalkan sidang, yang dijawab Dasco dengan mempersilakan.

Dasco menyatakan bahwa seluruh fraksi di Komisi III DPR menyetujui pengesahan RKUHP. Hanya ada beberapa catatan dari fraksi, salah satunya Fraksi PKS.

“Menurut hasil laporan dan pemantauan kami seluruh fraksi di Komisi III telah setujui keputusan tingkat I namun ada beberapa catatan dari fraksi PKS,” kata Dasco dalam rapat.

Terkait permintaan waktu untuk bica oleh anggota fraksi PKS, Dasco terlihat berargumen bahwa yang bersangkutan ingin mempersoalkan kembali hal – hal yang sudah disepakati pada sidang-sidang sebelumnya.

Pengesahan RKUHP menjadi undang-undang ini masih terus mendapat perlawanan, baik dari masyarakat sipil maupun mahasiswa.

Hal itu antara lain dapat disimak melalui laman instagram YLBHI yang memuat pengumuman; MAAF HARI INI BERKANTOR DI DEPAN DPR DULU.

Sementara Badan Eksekutif Mahasiawa UI (BEM UI) juga melalui rilis persnya masih mempersoalkan RKUHP ini.

Kepada pers, Kepala Departemen Kajian Strategis BEM UI, Andri Dwinanda, menyatakan pihaknya akan ikut melakukan aksi unjuk rasa menolak pengesahan RKHUP hari ini.

Kalangan pers sendiri menyatakan menolak pengesahan RKUHP ini menjadi Undang-undang. Sejak Minggu (4/12) hingga Rabu besok (7/17) Aliansi Jurnalis Independen (AJI) se-Indonesia menggelar demonstrasi secara daring dan luring, menuntut penundaan pengesahan RKUHP.

Aksi itu dihelat di Jayapura, Manokwari, Lhokseumawe, Semarang, Padang, Bandar Lampung, Bandung, Medan, Jakarta, Samarinda, Yogyakarta, Kediri, Surabaya, Jambi, Manado, Makassar, dan Sukabumi.

“DPR dan pemerintah harus menunda pengesahan RKUHP karena akan memberangus kebebasan pers dan demokrasi di Indonesia. AJI akan terus bersuara sampai pasal-pasal bermasalah dihapus,” kata Ketua Umum AJI Sasmito dalam keterangan tertulis, (6/12).

AJI menganggap RKUHP versi 30 November masih mengandung 17 pasal bermasalah. Pertama, pasal 188 yang mengatur tentang tindak pidana penyebaran atau pengembangan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.

Kemudian, pasal 218-220 yang mengatur tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wakil presiden. Pasal 240 dan pasal 241 yang mengatur tindak pidana penghinaan terhadap pemerintah.

Selain itu, pasal 263 yang mengatur tindak pidana penyiaran atau penyebarluasan berita atau pemberitahuan bohong. Begitu pula pasal 264 yang mengatur tindak pindana kepada setiap orang yang menyiarkan berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap.

Ada pula pasal 280 yag mengatur tentang gangguan dan penyesatan proses peradilan. Pasal 300, pasal 301, dan pasal 302 yang memuat tentang tindak pidana terhadap agama dan kepercayaan.

Pasal 436 yang mengatur tindak pidana penghinaan ringan juga menjadi sorotan. AJI pun mengkritik pasal 433 yang mengatur tindak pidana pencemaran.

Mereka juga mempermasalahkan 439 yang mengatur tindak pidana pencemaran orang mati. Begitu juga dengan pasal 594 dan pasal 595 yang mengatur tindak pidana penerbitan dan pencetakan.**

 

Brilliansyah: