RUU TPKS Merupakan Payung  Hukum Dalam Mencegah Bentuk Kekerasan Seksual

MenteriPPPA, Bintang Puspayoga. ( Foto : Humas KemenPPPA)

 

JAKARTA, Pewartasatu.com – Kasus-kasus kekerasan seksual saat ini makin banyak terungkap ke permukaan. Semuanya tidak luput dari partisipasi peran serta masyarakat, dan organisasi masyarakat yang proaktif memberikan informasi,  sehingga kasus tersebut terungkap.

“Untuk mengatasi tantangan dan kendala yang ada dalam penanganan perempuan korban kekerasan diperlukan penanganan secara komprehensif dan terintegrasi. Penanganan kekerasan seksual merupakan cross cutting issue yang perlu melibatkan berbagai sektor terkait mulai dari tingkat pusat, tingkat daerah, peran serta masyarakat, termasuk organisasi keagamaan, organisasi kemasyarakatan, akademisi dan stakeholder lainnya,” ungkap Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA ), dalam Workshop Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual (19/02).

​Menteri PPPA mengungkapkan ide, gagasan, inisiasi dan rekomendasi konstruktif yang dapat mendorong upaya pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual sangat diperlukan dari organisasi masyarakat. Hal tersebut merupakan bentuk komitmen bersama antara pemerintah dan organisasi masyarakat untuk bersinergi dalam memutus mata rantai terjadinya kekerasan seksual.

“KemenPPPA telah melakukan berbagai upaya untuk memberikan informasi dan pemahaman kepada masyarakat dan para pihak yang terkait, baik melalui sosialisasi, advokasi maupun dalam bentuk pelatihan-pelatihan terkait dampak dan potensi yang menimbulkan kekerasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. KemenPPPA juga telah meluncurkan kebijakan dalam memastikan upaya pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual melibatkan masyarakat mulai dari tingkat akar rumput,” kata Menteri PPPA.

Lebih lanjut, Menteri PPPA menambahkan urgensi adanya pengaturan hukum dalam membangun sistem pencegahan dan penanganan tindak pidana kekerasan seksual yang komprehensif. Oleh karenanya, dengan disahkannya RUU TPKS (Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual) diharapkan dapat dijadikan payung hukum dan acuan dalam mencegah segala bentuk kekerasan seksual, penanganan, perlindungan dan pemulihan korban, serta menindak pelaku, juga mewujudkan lingkungan yang bebas dari kekerasan seksual.

​Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Republik Indonesia, Siti Ruhaini Dzuhayatin mengatakan pelibatan berbagai pihak masyarakat sangat penting dalam mewujudkan terobosan hukum dalam pencegahan dan penanganan tindak pidana kekerasan seksual. Oleh karenanya, dalam mengawal RUU TPKS untuk dapat mengakomodir kebutuhan masyarakat, pelaksanaan diskusi publik menjadi hal yang penting. Adapun kelompok masyarakat yang turut dilibatkan diantaranya ulama dan akademisi perempuan hingga aktivis.

Ketua Umum MAI (Majelis Alimat Indonesia/Majelis Ilmuwan Perempuan), Amany Lubis mengemukakan pernyataan sikap terhadap pencegahan dan penanganan terjadinya kekerasan seksual, diantaranya; MAI mengecam semua kekerasan seksual karena bertentangan dengan prinsip agama Islam, Pancasila dan hak asasi manusia; dan MAI prihatin dengan kekerasan seksual yang terus meningkat secara kuantitas maupun kualitas, terlebih karena kekerasan seksual terjadi di tempat yang seharusnya menjadi tempat yang paling aman seperti keluarga, lembaga pendidikan, tempat ibadah, tempat kerja dan tempat publik lainnya;

Dosen Fakultas Pendidikan dan Pengajaran Islam di Universitas Islam Negeri Bandung, Nina Nurmila menyampaikan, kekerasan seksual merupakan kejahatan yang menohok rongga kemanusiaan. Oleh karenanya, demi kepentingan korban, MAI perlu mendukung pembahasan dan pengesahan RUU TPKS yang akan memfasilitasi korban mendapatkan keadilan dan mencegah kekerasan seksual terjadi.(Maulina)

 

 

Maulina Lestari: