Aktual Featured Hukum

Skandal Relokasi Paksa PIK2, Lebih dari 500 KK Desa Sukawali Terancam Terusir, Janda Tua Jadi Korban Intimidasi

Pertemuan Kapolsek Pakuhaji dengan warga untuk menggali secara mendalam permasalahan yang dialami warga. (Foto istimewa)

TANGERANG, Pewartasatu.com – Gelombang keresahan kini mengguncang Desa Sukawali, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang.Pasalnya lebih dari 500 kepala keluarga (KK) dari Kampung Encle, Sukadiri, hingga Kampung Sukamantri kini hidup dalam bayang-bayang ketakutan.

Betapa tidak mereka menghadapi tekanan masif untuk angkat kaki dari tanah yang telah mereka huni turun-temurun, demi ambisi perluasan megaproyek Pantai Indah Kapuk 2 (PIK2).

Relokasi yang diklaim “sukarela” ini, menurut kesaksian warga, sejatinya sarat intimidasi.
Aparat desa disebut terus menerus mendatangi warga, membujuk, menakut-nakuti, hingga mendesak mereka agar bersedia rumahnya diukur untuk proses relokasi.

“Ini bukan lagi sosialisasi, ini tekanan!” tegas salah satu tokoh masyarakat yang enggan disebut namanya.

Ia menyebut cara-cara yang digunakan tak mencerminkan semangat dialog ataupun keadilan sosial.

Ironisnya, bentuk intimidasi tersebut bahkan menyasar kelompok rentan.
Dalam satu insiden memilukan, seorang janda tua yang menolak rumahnya diukur justru harus menerima pemutusan aliran listrik oleh oknum aparat desa.

“Kami tidak sangka, penolakan yang sah sebagai warga negara justru dibalas dengan tindakan semena-mena,” ujar salah Seorang pemuda yang masih kerabat korban.

Aksi perlawanan warga pun tak dapat dibendung. Spanduk penolakan relokasi kini bertebaran di sepanjang jalan Kampung Encle, Desa Sukawali. Ini menjadi simbol perlawanan rakyat kecil terhadap raksasa kapital. Beberapa kali aksi warga digelar, sebagai bentuk pernyataan sikap kolektif menolak penggusuran paksa.

Puncaknya, dua hari lalu, Kapolsek Pakuhaji beserta jajarannya turun langsung ke lokasi. Dalam sebuah pertemuan terbuka yang dihadiri lebih dari 200 warga, masyarakat Kampung Encle menyampaikan secara kompak dan tegas bahwa mereka menolak keras rencana relokasi yang digagas oleh PIK2.

Situasi ini memantik pertanyaan besar tentang keterlibatan kekuasaan lokal dan keberpihakan aparat terhadap korporasi.

Warga menuntut pemerintah daerah dan pusat untuk segera turun tangan, menghentikan segala bentuk pemaksaan, dan menjamin perlindungan hak atas tanah serta tempat tinggal mereka.

Megaproyek PIK2 mungkin menjanjikan prestise dan profit bagi segelintir orang, namun harga yang harus dibayar oleh rakyat kecil tampaknya terlalu mahal.

“Kalau negara tak hadir untuk rakyat kecil, untuk siapa ia berdiri?” fetus Komaruddin, aktivis yang turut mendampingi warga. (**)

Leave a Comment