Ekonomi

Soal Power Wheeling, SP PLN Minta Pembahasan RUU EBET Dilanjut di Masa Pemerintahan Prabowo – Gibran

JAKARTA, Pewartasatu.com – Keinginan pemerintah memasukkan soal power wheeling dalam RUU EBET, hendaknya jangan dipaksakan untuk dibahas di masa pemerintahan sekarang yang akan berakhir pada Oktober mendatang. Apalagi penolakan terhadap RUU tersebut juga hingga kini masih saja bergulir dari para stakeholder.

Hal ini disampaikan Ketua Umum Serikat Pekerja PT PLN (Persero) Abrar Ali dalam keterangan persnya yang diterima di Jakarta, Kamis (11/5).

“Ini membuktikan bahwa RUU tersebut masih menyimpan sejumlah potensi masalah yang dapat dipastikan akan merugikan masyarakat dan negara nantinya,” kata Abrar menanggapi pernyataan Menteri ESDM Arifin Tasrif saat mengikuti rapat kerja dengan Komisi VII DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta beberapa waktu lalu.

Saat itu Menteri Arifin menyatakan bahwa pemerintah tidak ragu dan mendorong skema power wheeling masuk RUU EBET.
Padahal menurut Abrar, akan lebih baik jika pembahasan soal RUU khususnya soal skema power wheeling dilanjutkan pada periode rezim berikutnya.

“Kekhawatiran Menteri ESDM Arifin Tasrif terhadap kemungkinan
ketidakmampuan PLN menyediakan energi listrik apabila terjadi demand yang tinggi, terkesan sangat didramatisasi. Buktinya, hingga saat ini kita masih eksis melayani kebutuhan listrik masyarakat dan dunia industri,” kata Abrar.

“Soal nanti ada lonjakan demand, PLN akan mengantisipasinya dengan pertumbuhan jumlah pembangkit baru. Jadi jangan terlalu didramatisirlah, kasihan rakyat. Rakyat kini sudah lelah menghadapi ekonomi yang sedang morat-marit ini,” sambung Abrar.

Terkait power wheeling ini, menurut Abrar masih membutuhkan kajian yang lebih lanjut. Apalagi masih ada penolakan dari sejumlah pihak.

“Kan masih ada penolakan, Buktinya, saat rapat tersebut, Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mulyanto menyatakan pihaknya menolak skema power wheeling dimasukan dalam RUU EBET, karena tidak sekadar mengatur soal sewa jaringan transmisi PLN oleh swasta,” cetusnya.

“Ada implikasi yang krusial, PLN tidak lagi menjadi satu-satunya lembaga dalam sistem single buyer and single seller (SBSS), tapi membentuk multi buyer and multi seller system
(MBMS),“ ungkap Abrar mengutip pernyataan Mulyanto dari sejumlah media.

Penolakan yang sama ungkap Abrar juga disampaikan pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi. Menurut Fahmy, lanjut Abrar, skema power wheeling berpotensi menambah beban APBN dan merugikan negara. Alasannya, power wheeling akan menggerus permintaan pelanggan organik PLN hingga 30 persen dan pelanggan nonorganik hingga 50 persen.

“Penurunan ini tidak hanya memperbesar kelebihan pasokan PLN, tapi juga menaikkan harga pokok penyediaan (HPP) listrik. Dampaknya dapat membengkakkan APBN untuk membayar kompensasi kepada PLN, sebagai akibat tarif listrik PLN di bawah HPP dan harga keekonomian. Terhadap rakyat, penetapan tarif listrik yang diserahkan kepada mekanisme pasar juga akan membuat tarif listrik bergantung demand and suplly,” paparnya.

Terkait masih adanya kontra soal power wheeling tersebut, Abrar menyatakan, pembahasan RUU EBET hendaknya dilanjutkan pada masa presiden periode 2024-2029 mendatang.

“Jadi kita masih ada waktu untuk melakukan pembahasannya, sehingga tidak ada yang dirugikan. Jangan hanya ingin memaksakan “syahwat politik” dengan harus selesai sebelum periode presiden sekarang yang akan
berakhir pada Oktober mendatang. Kasihan rakyat dan akan menjadi beban negara nantinya,” tutup Abrar.(**)

Leave a Comment