Penasihat hukum keluarga Brigadir J, Kamarudin Simanjuntak, memberi keterangan kepada awak pers. //foto: CNN Indonesia
JAKARTA. Pewartasatu.com – Penyidikan kasus tewasnya Brigadir J atau Brigadir Yoshua, hingga kini masih berputar-putar. Memasuki hari ke 26, belum juga jelas terangnya dan yang pasti belum ada tersangkanya. Kenyataan ini mulai menimbulkan pertanyaan di masyarakat, mau di bawa ke mana kasus ini.
Pakar pidana yang juga advokat dari MT & Partner Lawfirm Surakarta, Dr.Muhammat Taufiq SH, MH, mempertanyakan sebenarnya, penyidikan kasus ini untuk kepentingan siapa sih?
Presiden Asosiasi Ahli Pidana Indonesia (AAPI) ini menyampaikan pendapatnya melalui Refly Harun Channel yang dikutip Pewartastu.com, Rabu, 3 Juli 2022.
Hampir sama dengan opini yang mulai berkembang di masyarakat, Taufiq dan Refly Harun sama melihat penyelidikan/ penyidikan kasus ini masih berputar-putar meski tim khusus yang dibentuk bekerjasama dengan Komnas HAM dan Kompolnas (Komisi Kepolisian Nasional) sudah lebih dari tiga pekan bekerja.
“Dalam peristiwa ini (tewasnya Brigadir J – red), saya ingin bertanya kepada Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo, sebenarnya penyidikan ini untuk kepentingan siapa?”
“Kepentingan instiusi kepolisian atau kepentingan penegakan hukum?” Lanjutnya lagi.
Kalau demi kepentingan penegakan hukum, lanjutnya, tentu semua harus dibuka karena tak ada yang boleh dilindungi. “Penegakan hukum jauh lebih penting dari melindungi instutusi,” tambahnya.
Sejak awal doktor ilmu hukum jebolan UNS Solo ini melihat, peristiwa tewasnya Brigadir J atau Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat adalah kasus yang tidak terlalu sulit, sehingga dia melihat tidak seharusnya penyidikannya berputar-putar, sampai membentuk Tim Khusus dan sebagainya.
Sebab, menurutnya secara skill Polri mempunyai kemampuan, apalagi dengan kondisi sekarang, polisi sangat mampulah. “Yang kita inginkan dari awal cuma satu: ujur,” itu saja kata Advokat dari MT & Partner Lawfirm ini.
Taufiq membandingkan kasus tewasnya Brigadir J dengan kasus tewasnya seseorang yang diduga mencuri hand phone (HP) di salah satu rumah sakit di Semarang.
Tak perlu menunggu dua hari, dalam satu kali 24 jam, 11 orang ditetapkan sebagai tersangka pelaku penganiayaan yang menyebabkan seseorang yang diduga mencuri HP itu tewas.
“Pertanyaannya, apakah karena pelakunya bukan polisi sehingga begitu mudahnya mendapatkan tersangka ?”
“Atau karena polisi mempunya keistimewaan?” Tanya Taufiq.
Taufiq menjawab sendiri, polisi itu hukumnya sama dengan hukum sipil. Karena itu dia juga mempertanyakan, apakah Kapolri tidak serius dalam kasus tewasnya Brigadir J?
Menurut Taufiq, seorang Kapolri mesti mempertangungjawabkan pangkat di pundaknya. Dalam kasus ini Kapolri dihadapkan kepada dua pilihan, ingin menegakkan hukum atau ingin menegakkan (melindungi-red) korsanya.
Kalau menggunakan akal sehat, lanjut Taufiq, kan harus memilih menegakkan hukum dibanding institusi.
Karena polisi juga adalah lembaga public, menurut Taufiq, harus ada pertanggungjawaban hukum kepada public.
Taufiq kembali mempertanyakan kenapa hingga hari ini belum ada tersangka dalam kasus tewasnya Brigadirnya. Padahal, seorang yang ditetapkan sebagai tersangka belum tentu juga bersalah, karena semua akan dibuktikan di pengadilan.
Taufiq dan Refly sependapat, kalau peristiwa ini tak segera diungkap sejelas-jelasnya, akan memunculkan pendapat-pendapat dan bola liar, bahwa sebenarnya ini peristiwa apa. Apakah ini murni kasus pelecehan atau ada kasus yang berbeda.
Artinya, satu kasus pelecehan, yang satunya lagi mungkin….(Taufiq tidak meneruskan –red), semuanya serba mungkin,tapi institusi tak pernah menjelaskan ini.
Refly Harun sendiri menambahkan, kasus ini ada dua. Satu, pelecehan. Dua, pembunuhan.
Menurut Refly yang juga advokat ini, seharusnya kasus yang pertama (pelecehan-red) tak perlu disinggung-singgung lagi. Soalnya, orang yang dituduh sudah tewas.
Yang kedua, kasus pembunuhan. Ini yang harus terus didalami dengan tiga pertanyaan; apakah betul karena kasus bela diri. Kedua, apakah pembunuhan;
Ketiga apakah memang pembunuhan berencana, di mana si pembunuh itu benar-benar bagian dari keinginan untuk menghabisi nyawa Brigadir J.
“Kan hanya sekitar itu narasinya, ngapain melebar ke yang lain-lain? Kalau nanti benar-benar ada kasus pelecehan kan jadi penguat juga?” Kata Refly, seraya menambahkan seharusnya kerangka berpikir Polri begitu.
Sebagai ahli pidana, Taufiq ingin meluruskan pemahaman masyarakat. Ketika ada sebuah peristiwa kejahatan, pelakunya meninggal, masalahnya selesai. Semua ahli pidana sepakat dengan hal ini. “Tak mungkin dia dibebani lagi tanggungjawab pidana.”
Dalam kasus ini, sebagai subyek hukum (seperti dituduhkan sebagai pelaku pelecehan) mestinya sudah selesai. Sekarang dia sudah mati, dia sebagai obyek hukum. Harus dicari tahu dan diungkap, mati karena apa.
“Main pistol-pistolan sendiri…begitu, mati karena tembak-tembakan, atau mati karena sudah tak berdaya tapi ditembak.”
Taufiq menekankan, semua harus diungkapkan secara jelas, dan tidak perlu pakai teori muluk-muluk.
Tapi kalau penanganan kasus ini hanya berputar-putar, di Polda ditarik ke Mabes, kemudian dibawa ke Komnas HAM, dan Komnas HAM seolah hanya berputar-putar, tentu akan menyisakan tanda tanya besar di masyarakat, “Sebenarnya siapa yang ingin dilindungi ?” Demikian Taufiq.**