Kompleksitas permasalahan yang berkaitan dengan lahan kritis timbul karena terlalu banyak melibatkan kepentingan. Disamping melibatkan banyak kepentingan, permasalahan yang ada juga sudah sangat kronis.
Sudah bertahun-tahun lamanya terjadi penyimpangan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukan dan daya dukungnya. Permasalahan menjadi semakin berat karena lahan kritis juga tersebar di luar lahan/kawasan yang dikuasai oleh negara alias lahan milik.
Kompleksitas serta kronisnya permasalahan yang ada menyebabkan penanganan lahan kritis menjadi sangat tidak mudah. Namun bukan berarti bahwa permasalahan ini tidak bisa diselesaikan dengan tuntas dan bermartabat.
Tantangan terbesar adalah pada masalah kesejahteraan, persepsi, kesadaran dan partisipasi masyarakat. Pemberdayaan melalui alih profesi, alih komoditas, sosialisasi, edukasi dan penegakan hukum diharapkan dapat membangun kesadaran yang permanen untuk itu.
Pendekatan penanganan lahan kritis yang harus dikedepankan adalah pendekatan inklusif inovatif. Bahwa penanggulangan lahan kritis adalah giat lintas sektor dan lintas keilmuan. Penanggulangan lahan kritis yang selama ini dilakukan, terkesan menjadi dominasi sektor kehutanan, pertanian serta pekerjaan umum dan perumahan saja. Padahal kenyataannya di lapangan banyak permasalahan yang membutuhkan intervensi sektor lain.
Sudah banyak sektor yang bekerja di lapangan, tetapi dengan program sendiri-sendiri. Pengembangan kolaborasi yang ditopang oleh dinamika inovasi dan eksekusinya harus dimaknai sebagai program bersama untuk tujuan bersama. Inovasi dan kolaborasi harus diorganisir seperti layaknya sebuah orkestra yang dipandu oleh dirigen dengan pengetahuan dan keterampilan praktis yang mumpuni serta relasi komunikasi yang luas.
Transformasi Penanggulangan
Diperlukan lompatan inovasi dalam konteks transformasi penanggulangan lahan kritis. Rekayasa teknis harus berjalan paralel dengan rekayasa sosial budaya dan rekayasa ekonomi.
Sebelum melakukan pemulihan lahan kritis melalui kegiatan penanaman pohon dan program penutupan lahan lainnya di dalam kawasan hutan (reforestasi/regreening) serta penanaman di luar kawasan hutan (penghijauan), perlu dilakukan analisis kesesuaian tempat tumbuh, kesesuaian sosial, kesesuaian ekonomi dan analisis kesesuaian budaya, serta kesesuaian keamanan dari berbagai potensi gangguan di lapangan.
Kelima analisis ini mutlak diperlukan. Keputusan pemilihan jenis tanaman dan program penutupan lahan lainnya ditentukan dari hasil irisan matriks dari kelima analisis tersebut.
Ritual kegiatan penanaman dan pekerjaan penutupan lahan lainnya juga harus bertransformasi dengan mengedepankan ritual budaya ketimbang ritual prosedural birokrasi. Ritual budaya diperlukan untuk menggugah tenggang rasa saling menjaga dan memelihara.
Budaya merupakan kristalisasi nilai-nilai luhur masyarakat di suatu daerah dan diyakini mampu menjadi perekat yang dapat meluruhkan berbagai kepentingan golongan maupun individu. Ritual budaya juga diyakini dapat menjadi penghela utama untuk proses transformasi sosial, teknis dan ekonomi. Melalui transformasi tersebut diharapkan terjadi pengembangan persepsi dan perluasan serta peningkatan partisipasi publik.
Satuan wilayah penanggulangan lahan kritis juga harus berbasis wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS). Dengan demikian maka kegiatan ini dapat menjadi bagian dari pengelolaan DAS terpadu. Penanggulangan lahan kritis untuk memperoleh efek penutupan yang lebih cepat juga bisa dilakukan dengan kombinasi tanaman multi tajuk, perbaikan kontur, termasuk dengan pemasangan gebalan rumput.
Sementara itu, paradigma pemeliharaan tanaman yang selama ini hanya diukur keberhasilannya melalui persentasi tumbuh tanaman, harus juga ikut bertransformasi. Keberhasilan penanaman yang diukur melalui persentasi tumbuh tanaman harus bertransformasi menjadi selain tumbuh, juga terjadi pembesaran tanaman.
Jadi keberhasilan penanaman pohon harus diukur dengan selain tumbuh, juga harus produktif. Kalau tolok ukur yang dipakai saat ini hanya berkutat pada tanaman dapat tumbuh saja, walaupun kerdil, terserang hama dan penyakit maupun tidak produktif. Tolok ukur investasi yang dialokasikan untuk regreening yaitu per batang tanaman.
Dengan demikian jika keberhasilan penanaman hanya diukur berdasarkan persentasi tumbuh saja (katakanlah 80%), maka dengan sengaja telah menghamburkan investasi untuk kegiatan rehabilitasi dan semua tahapan penanaman sebesar 20%.
Transformasi tolok ukur keberhasilan penanaman seperti yang dikemukakan di atas akan berkonsekuensi terhadap pola penganggarannya. Penganggaran untuk kegiatan penanaman dan penutupan lahan lainnya harus bertransformasi dari pola kalender year menjadi pola multi years (tahun jamak), minimal untuk tiga tahun penganggaran.
Ini artinya penganggaran yang disediakan untuk membiayai kegiatan penanggulangan lahan kritis harus dapat dipastikan tersedia dalam kurun waktu selama tiga tahun berturut-turut. Secara teknis dibutuhkan paling tidak tiga tahun untuk tanaman berkayu dapat tumbuh sampai melampaui masa kritisnya.
Transformasi pola penganggaran ini harus diikuti dengan penyiapan dokumen administrasi teknis dan instrumen administrasi pengawasan yang cermat dan efektif untuk mencegah potensi penyimpangan yang mungkin terjadi.
Oleh: Dr. Ir. Ishak Tan, M.Si
Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Winaya Mukti; Pegiat Lingkungan