Wajar Buruh Turun ke Jalan, Pengamat: Pembahasan RUU Ciptaker Tak Sejalan Prinsip Demokrasi

JAKARTA, Pewartasatu.com– Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) yang sudah disahkan Rapat Paripurna DPR RI awal pekan ini menimbulkan gelombang protes di tanah air.

Bahkan kaum buruh yang merasa paling banyak dirugikan atas disahkan RUU Ciptaker tersebut paling getol melakukan protes. Malah hampir semua daerah industri dan kota, turuh turun ke jalan melakukan protes. Hari ini, Kamis (8/10), dikabarkan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) seluruh Indonesia juga turun ke jalan.

Tampak ratusan aparat keamanan terdiri dari polisi dibantu TNI sudah siap-siap ‘menyambut’ kedatangan para pendemo tersebut di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta. Mereka tampak bersiap untuk melakukan pengamanan.

“Wajar kaum buruh dan mahasiswa turun ke jalan melakukan protes karena mereka merasa dirugikan dengan terbitnya UU Ciptaker ini. Dalam negara yang menganut sistem demokrasi seperti Indonesia, protes atau demo itu hal yang lumrah,” kata pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul, Muhammad Jamiluddin Ritonga saa bincang-bincang dengan Pewartasatu.com di Jakarta, Kamis (8/10) pagi.

Pengajar metode penelitian komunikasi, riset kehumasan serta isu dan krisis manajemen tersebut menilai, PRUU Cipta Kerja dibahas cenderung tertutup. Hal ini mengingkari prinsip negara demokrasi yang menuntut keterbukaan.

“Dalam negara demokrasi, pembahasan RUU harusnya melibatkan semua pemangku kepentingann. Pasal-pasal yang dianggap krusial idelnya disampaikan ke masyarakat melalui media massa. Hal ini dimaksudkan agar semua pemangku kepentingan dapat memberikan masukan,” jelas pria yang akrab disapa Jamil tersebut.

Masukan dari pemangku kepentingan, lanjut Jamil, merupkan upaya dari legislatif dan pemerintah sebagai pembuat UU untuk memastikan pasal-pasal mana saja yang tidak dikehendaki publik. Sebagai pembuat UU, Legislatif dan Pemerintah, idealnya memperhatikan sungguh-sungguh masukan dari semua pemangku kepentingan tersebut.

Bila para pemangku kepentingan ada yang menolak pasal-pasal tertentu, seyogyanya DPR dan Pemerintah meniadakan pasal-pasal tersebut. Jadi, dengan begitu, rakyatlah yang berdaulat sebab demokrasi tersebut adalah daulat dari rakyat. Pemerintah hanya menjalankan daulat dari rakyat dan Legislatif ditugaskan untuk mengawasi kinerja Pemerintah.

“Karena itu, dalam negara demokrasi, Presiden sebagai pemimpin tertinggi dalam Pemerintahan dipilih rakyat. Demikian pula anggota DPR. Mereka ditugaskan rakyat untuk mengawasi kenerja Pemerintah. Jadi, Pemerintah tidak boleh bersekutu dengan legislatif,” demikian Muhammad Jamiluddin Ritonga. (fandy)

akhir Rasyid Tanjung: