KPH Dr. H.Andi Budi Sulisyonegoro, SH, M.IKom. (Foto: Ist)
Oleh :KPH Dr. Andi Budi Sulisyonegoro, SH, M.IKom
PADA waktu diangkat menjadi Kapolri tahun 2019, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah mengusung slogan Polri Presisi untuk memodernisasi pelayanan institusi Polri yang prediktif, responsibilitas, dan transparansi-berkeadilan.
Slogan ini menggunakan pendekatan pemolisian berbasis masalah.
Untuk lebih menunjang pelaksanaan Polri Presisi secara nyata dicetuskannya empat pilar kebijakan, 16 program prioritas, 51 kegiatan, 177 rencana aksi, dan 8 komitmen.
Slogan pendekatan pemolisian berbasis masalah di era digital, tentu tidak dapat dilepaskan dari transformasi komunikasi digital di tubuh Polri. Transformasi digital merupakan keniscayaan dalam membangun citra dan kepercayaan publik terhadap institusi. Sebab di era digital dewasa ini, komunikasi yang efektif dan transparan menjadi kunci utama untuk Polri menjalin hubungan yang harmonis dengan masyarakat, sekaligus dapat melakukan modernisasi kultur institusi di tubuh Polri itu sendiri.
Dengan demikian transformasi digital pada dasarnya sejalan dengan slogan Presisi, dimana Polri tidak hanya melakukan upaya prediktif, responsibilitas, transparansi, berkeadilan, tetapi juga harus menjadikan institusi yang komunikatif.
Pilar Transformasi Polri
Empat pilar transformasi yang dicetuskan oleh Kapolri mencakup Transformasi Organisasi, Transformasi Operasional, Transformasi Pelayanan Publik, dan Transformasi Pengawasan.
Transformasi pertama yaitu transformasi organisasi akan melakukan pendekatan integralistik sistem informasi kepolisian, memaksimalkan pemenuhan sarana dan prasarana Polri dengan peningkatan anggaran yang memadai, dan penguatan Puslitbang Polri sebagai pusat riset teknologi.
Polri harus mereformasi dan mampu mengembangkan teknologi kepolisian yang modern di era police 4.0 dan police 5.0 dalam hal pelayanan pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat serta penegakan hukum.
Polri wajib membangun sistem yang dapat meningkatkan hubungan komunikasi antara kepolisian dengan masyarakat, antara personil kepolisian dengan masyarakat dalam rangka pencegahan dan meminimalisir potensi pelanggaran dan kejahatan.
Transformasi kedua, yaitu transformasi operasional, adalah sebuah proses transformasi yang mengubah input menjadi output yang presisi, akurat dan akuntabel dengan nilai tambah yang memadai. Berbagai upaya mensukseskan dan mengawal agenda politik ekinomi nasional dilakukan dengan baik. Khususnya dalam hal pemulihan ekonomi nasional pasca pandemi Covid-19. Dukungan tersebut sangat berarti mengingat stabilitas keamanan memegang peranan yang sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi demi menjaga dan meningkatkan daya beli masyarakat.
Selain itu, dalam transformasi operasional ini adalah aktif dalam penanganan konflik sosial yang terjadi baik di kota maupun di daerah. Konflik yang terjadi bisa merupakan akumulasi dari berbagai kasus baik di bidang pertanahan, agama, ras dan etnis baik secara horizontal maupun vertikal. Untuk jurus penyelesaiannya Polri harus mengedepankan pencegahan dan dialog antar pihak bersengketa dengan melibatkan totkoh-tokoh agama dan tokoh adat istiadat setempat.
Kerjasama penanganan konflik antara pemerintah pusat, polri dan pemerintah daerah mutlak diperlukan. Namun, tetap dibutuhkan kerjasama dengan pemerintah daerah sebagai leading sector-nya. Upaya penyelesaian damai dengan mengusung konsep win-win solution harus menjadi target agar bisa mengakomodasi kepentingan berbagai pihak.
Transformasi ketiga adalah pelayanan publik. Transformasi ini dilakukan untuk memudahkan masyarakat yang membutuhkan jasa layanan publik dari pihak kepolisian. Ini ada kaitannya dengan pengembangan dan penggunaan teknologi komunikasi yang canggih dan terus menerus di tingkatkan baik kualitas dan kuantitasnya. Tujuan pokok dalam transformasi ini adalah memastikan Polri melakukan komunikasi publik yang baik. Dengan komunikasi publik yang baik, pesan maupun informasi yang disampaikan akan terdistribusi dengan baik.
Polri harus mampu melakukan komunikasi publik dengan baik, agar respon dan kilas-balik terhadap propaganda negatif bisa tercapai, dan kepercayaan masyarakat bisa kembali meningkat. Komunikasi persuasif mutlak diperlukan dan ditingkatkan, karena komunikasi persuasif adalah komunikasi dua arah sehingga penyerapan aspirasi dari masyarakat lebih maksimal.
Transformasi keempat adalah transformasi pengawasan. Tindakan pengawasan menjadi salah satu kunci dan kontrol bagi manajemen kepolisian. Pengawasan yang baik dan akurat, menjadikan anggota sebuah organisasi bisa tertib dan segaris kebijakan di institusi polri.
Komitmen Polri untuk menyediakan pengawasan dengan sistem yang memudahkan bagi masyarakat pencari keadilan. Tentu melalui berbagai sistem yang ditingkatkan kapasitas dan kegunaannya. Masyarakat dalam hal ini dapat menjadi salah satu pihak yang melakukan pengawasan eksternal. Namun, tetap saja bahwa pengawasan internal harus diberdayakan agar keberlangsungan program bisa berjalan dengan baik dan sesuai harapan masyarakat.
Seiring dengan berjalannya transformasi pengawasan, Polri menjadi institusi dengan budaya kerja yang profesional, didukung oleh sumber daya yang kompeten, berintegritas, serta sejahtera agar mampu memberikan pelayanan publik yang berkualitas dan modern. Polri yang profesional, responsif dan terpadu mampu masuk seluas-luasnya kepada
lapisan kelompok masyarakat.
Untuk mengimplementasikan sistem pengawasan yang maksimal, terdapat empat aspek penting yang perlu dilakukan. Pertama, upaya perubahan budaya pengawasan. Pimpinan harus turun langsung melakukan chek and richek kondisi riil di lapangan. Kedua, jangan ada tumpang tindih dalam hal pengawasan untuk memudahkan masyarakat pencari keadilan dalam menyampaikan pengaduan sehingga penataan dan pembentukan HTCK (Hubungan Tata Cara Kerja) antar fungsi pengawasan perlu ditingkatkan. Ketiga, kemudahan masyarakat melakukan pengaduan kepada Polri sebagai bentuk pengawasan eksternal kepada Polri. Keempat, membangun sinergitas antar lembaga pengawas sehingga diperlukan sistem pengaduan yang terintegrasi dengan fungsi pengawasan lainnya (handling complaint system).
Transformasi adalah perubahan. Setiap perubahan membutuhkan komunikasi yang efektif dan efisien. Teknologi informasi, SDM yang kompeten, dukungan infrastruktur TIK yang memadai dan keterbaruan sistem komunikasi harus menjadi prioritas Polri dalam melakukan tranformasi komunikasi. Hal ini merupakan komitmen seluruh pimpinan dan personil Polri dalam rangka mengaktualisasikan Polri yang profesional, humanis dan berkarakter sebagai abdi Bhayangkari.
Transformasi komunikasi juga dapat membantu Polri untuk membangun kepercayaan dan legitimasi publik sehingga terbentuk persepsi atau imaji tentang institusi Polri yang profesional, modern, nonhiarkis, transparan, akuntabel dan kredibel.
Dukungan SDM dan Infrastruktur TIK
Untuk mencapai model komunikasi yang ideal, institusi Polri pertama-tama harus melakukan modernisasi sumber daya manusia (SDM) dan infrastuktur pendukungnya. Kehandalan perangkat organisasi dalam men-delivery informasi kepada masyarakat merupakan keniscayaan karena mereka adalah aset terpeting yang berperan dalam saluran perangkat komunikasi.
Penguasaan teknologi informasi dan komunikasi bukan dalam konteks sebagai user (pengguna) semata, namun harus benar-benar dapat dilakukan penguasan keilmuannya. Sehingga pola-pola pendidikan dan pelatihan SDM harus berorientasi pada jawaban atas kebutuhan organisasi dan masyarakat masa kini.
Melalui pendekatan smart policing harus dipastikan personil Polri dapat melaksanakan tugas-tugas kepolisian secara lebih inovatif, menerapkan sains dan teknologi serta evidence-based (berbasis bukti), dan menggunakan pendekatan antardisiplin.
Kemampuan personil kepolisian dalam komunikasi akan membangun sinergisitas yang semakin kuat antara Polri dan masyarakat serta lembaga-lembaga negara lain yang berkepentingan. Kemampuan komunikasi dasar yang harus dimiliki personil Polri dapat berupa pemakaian bahasa yang ramah, sopan dan santun ketika berinteraksi dengan masyarakat.
Di sisi lain, Polri juga membuka ruang bagi masyarakat untuk memberikan masukan dan saran. Hal ini dilakukan melalui berbagai forum komunikasi seperti dialog publik survei online, atau ragam kegiatan lainnya. Polri harus berani masuk dan proaktif dalam komunikasi sosial media, bersinergi dengan awak media, pembinaan pers, perkuat kemampuan personal branding dan terus memodernisasi peralatan digitalnya. Ketika ada kritik atau saran, Polri tidak seharusnya membuat sikap resistensi tetapi mencermati dan menerimanya sebagai masukan yang produktif untuk membangun hubungan yang baik. Dalam hal ini, Polri harus menjadi pendengar yang baik.
Di tengah fenomena post-truth semakin merajalela di negara bernama media sosial, Polri harus mampu menangkalnya dan memastikan bahwa informasi yang diberikan kepada khalayak benar. Dengan demikian dapat menciptakan ketenangan dan kenyamanan dalam mengkonsumsi informasi sehingga menumbuhkan derajat kepercayaan publik kepada institusi Polri.
Komunikasi yang positif tentu akan melahirkan persepsi masyarakat yang juga positif terhadap organisasi Bhayangkara. Inovasi dan transformasi di bidang komunikasi dapat meningkatkan kinerja dan kemampuan personil yang bertugas di bidang pencegahan, penegakan hukum, pemeliharaan kamtibmas untuk memberikan rasa aman kepada masyarakat.
Humas Polri, dalam hal ini, menjadi garda terdepan agar Korps Bhayangkara sebagai lembaga yang terus dicintai masyarakat. Tentu kepolisian jangan antikritik, tetapi harus mendengarkan aspirasi masyarakat, terus melakukan evaluasi, memperkuat kualitas teknologi komunikasi di semua level dari pusat hingga daerah. Masyarakat akan merasakan hadirnya Polri justru karena informasi yang akurat dan terus-menerus yang dilakukan oleh bidang kehumasan.
Penulis adalah Ketua Forum Doktor Ilmu Komunikasi Sekolah Pasca-Sarjana Universitas Sahid Jakarta