Jakarta, Pewartasatu.com
Anggota Komisi II DPR RI Rifqinizami Karsayuda mengatakan, bahwa pemungutan suara Pilkada 2024 idealnya dilaksanakan sebelum bulan November 2024 dengan mempertimbangkan sejumlah masalah dan jeda waktu yang cukup antara pelaksanaan Pemilu Legislatif (Pileg) 2024 yang diusulkan KPU yaitu 21 Februari.
Menurutnya, hasil Pileg harus memiliki kepastian hukum agar dapat dijadikan syarat pendaftaran calon kepala daerah dari jalur partai politik. Untuk itu, Presiden Joko Widodo perlu mempertimbangkan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terkait jadwal Pilkada Serentak 2024.
“Perppu tersebut diperlukan untuk mengantisipasi berbagai potensi kekacauan hukum terutama hukum administrasi masa jabatan kepala daerah,” kata Rifqinizami Karsayuda.
Dijelaskan, beberapa alasan mengapa Presiden perlu mengeluarkan Perppu terkait jadwal Pilkada 2024, diantaranya karena jadwal Pilkada 2024 di bulan November memiliki konsekuensi pelantikan kepala daerah terpilih baru bisa dilaksanakan secepat-cepatnya pada Januari 2025.
“Ini belum termasuk jika terjadi sengketa administrasi, pidana maupun perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi (MK) sehingga jeda waktu yang dibutuhkan akan bertambah panjang sekaligus penuh ketidakpastian,” tukasnya.
“Selain itu, nomenklatur surat keputusan pengangkatan kepala daerah hasil Pilkada 2020 menegaskan masa jabatannya pada periode 2021-2024 sehingga secara normatif berakhir selambat-lambatnya pada 31 Desember 2024,” lanjut pria yang biasa disapa Rifqi itu.
Lebih jauh ia mengatakan, pemerintah juga harus menyiapkan sebanyak 270 Penjabat (Pj) kepala daerah untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah yang berakhir masa jabatannya pada 31 Desember 2024.
Rifqi menjelaskan, kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2022 dan 2023 telah diisi Pj kepala daerah terlebih dahulu hingga memiliki kepala daerah definitif hasil Pilkada 2024.
“Pengisian Pj kepala daerah di 542 daerah itu bukan pekerjaan mudah bagi pemerintah karena akan ‘menyedot’ energi sejumlah pejabat Eselon I dan II di pemerintahan untuk melaksanakan tugas ganda,” katanya.
Masih menurut Rifki, Pilkada 2024 yang dilaksanakan November juga akan menjadi “pekerjaan rumah” bagi presiden dan wakil presiden hasil Pilpres 2024.
“Pilkada 2024 akan membuat pemerintahan yang baru terbentuk pada Oktober 2024 langsung menghadapi tugas berat yaitu pemungutan, penghitungan suara termasuk potensi sengketa hasil pilkada dan berbagai potensi pasca-tahapan,” paparnya.
Karena itu, lanjut dia, Perppu menjadi solusi yuridis ketatanegaraan di tengah telah disepakatinya ketiadaan revisi UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
“Perppu tersebut tidak hanya terkait jadwal pemungutan suara namun juga harus mengisi berbagai kekosongan hukum, pertentangan norma dalam UU, dan berbagai ketentuan lain untuk menghadirkan pilkada serentak lebih ideal,” tutup Politisi PDI Perjuangan ini.(Arif)
Anggota DPR Minta Presiden Terbitkan Perppu Terkait Jadwal Pilkada Serentak
Jakarta, Pewartasatu.com
Anggota Komisi II DPR RI Rifqinizami Karsayuda mengatakan, bahwa pemungutan suara Pilkada 2024 idealnya dilaksanakan sebelum bulan November 2024 dengan mempertimbangkan sejumlah masalah dan jeda waktu yang cukup antara pelaksanaan Pemilu Legislatif (Pileg) 2024 yang diusulkan KPU yaitu 21 Februari.
Menurutnya, hasil Pileg harus memiliki kepastian hukum agar dapat dijadikan syarat pendaftaran calon kepala daerah dari jalur partai politik. Untuk itu, Presiden Joko Widodo perlu mempertimbangkan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terkait jadwal Pilkada Serentak 2024.
“Perppu tersebut diperlukan untuk mengantisipasi berbagai potensi kekacauan hukum terutama hukum administrasi masa jabatan kepala daerah,” kata Rifqinizami Karsayuda.
Dijelaskan, beberapa alasan mengapa Presiden perlu mengeluarkan Perppu terkait jadwal Pilkada 2024, diantaranya karena jadwal Pilkada 2024 di bulan November memiliki konsekuensi pelantikan kepala daerah terpilih baru bisa dilaksanakan secepat-cepatnya pada Januari 2025.
“Ini belum termasuk jika terjadi sengketa administrasi, pidana maupun perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi (MK) sehingga jeda waktu yang dibutuhkan akan bertambah panjang sekaligus penuh ketidakpastian,” tukasnya.
“Selain itu, nomenklatur surat keputusan pengangkatan kepala daerah hasil Pilkada 2020 menegaskan masa jabatannya pada periode 2021-2024 sehingga secara normatif berakhir selambat-lambatnya pada 31 Desember 2024,” lanjut pria yang biasa disapa Rifqi itu.
Lebih jauh ia mengatakan, pemerintah juga harus menyiapkan sebanyak 270 Penjabat (Pj) kepala daerah untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah yang berakhir masa jabatannya pada 31 Desember 2024.
Rifqi menjelaskan, kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2022 dan 2023 telah diisi Pj kepala daerah terlebih dahulu hingga memiliki kepala daerah definitif hasil Pilkada 2024.
“Pengisian Pj kepala daerah di 542 daerah itu bukan pekerjaan mudah bagi pemerintah karena akan ‘menyedot’ energi sejumlah pejabat Eselon I dan II di pemerintahan untuk melaksanakan tugas ganda,” katanya.
Masih menurut Rifki, Pilkada 2024 yang dilaksanakan November juga akan menjadi “pekerjaan rumah” bagi presiden dan wakil presiden hasil Pilpres 2024.
“Pilkada 2024 akan membuat pemerintahan yang baru terbentuk pada Oktober 2024 langsung menghadapi tugas berat yaitu pemungutan, penghitungan suara termasuk potensi sengketa hasil pilkada dan berbagai potensi pasca-tahapan,” paparnya.
Karena itu, lanjut dia, Perppu menjadi solusi yuridis ketatanegaraan di tengah telah disepakatinya ketiadaan revisi UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
“Perppu tersebut tidak hanya terkait jadwal pemungutan suara namun juga harus mengisi berbagai kekosongan hukum, pertentangan norma dalam UU, dan berbagai ketentuan lain untuk menghadirkan pilkada serentak lebih ideal,” tutup Politisi PDI Perjuangan ini.(Arif)