Bentrok antara Tenaga Kerja Asing (TKA) dengan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di PT. Gunbuster Nickel Industri (GNI), Morowali Utara, Sabtu.//Foto: Oposisi Cerdas/Twitter
JAKARTA. Pewartasatu.com — Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyebut bentrokan antara pekerja PT Gunbuster Nickel Industri (GNI), Morowali Utara, Sulawesi Tengah dipicu provokasi ajakan mogok kerja.
Akibat bentrokan ini dua pekerja, yakni seorang TKI berinisial MS dan satu orang TKA tewas inisial XE. Selain itu, sembilan orang pekerja lainnya mengalami luka-luka.
“Bentrokan yang terjadi di perusahaan smelter GNI ini dipicu adanya provokasi yang muncul karena ada ajakan mogok kerja,” ujar Sigit dalam konferensi pers yang dilihat dari siaran kanal YouTube Sekretariat Presiden, Senin (16/1/2023).
“Dan ada beberapa peristiwa yang terkait masalah industrial yang saat itu sedang dirundingkan,” sambungnya.
Terkait kericuhan tersebut, lanjut Sigit, kepolisian telah mengamankan puluhan orang yang diduga melakukan perusakan sarana dan fasilitas perusahaan.
“Beberapa pelaku perusakan saat ini sudah diamankan, kurang lebih ada 71 orang yang diamankan. 17 orang saat ini ditetapkan sebagai tersangka,” tukasnya.
Sebelumnya, dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Partai Buruh di Jakarta, Senin (16/1/2023), Said menyebut bahwa para pekerja telah lama mengeluhkan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) perusahaan tersebut.
Ia mengungkap adanya kematian 2 pekerja–1 perempuan dan 1 laki-laki–akibat buruknya K3. “Dua orang ini sedang bekerja, listrik mati, tungkunya meledak dan mereka tidak bisa melompat karena tinggi sekali,” kata Said sebagaimana dikutip Kompas.com.
“Dua orang ini sedang bekerja, listrik mati, tungkunya meledak dan mereka tidak bisa melompat karena tinggi sekali,” kata Said.
“Kami meminta pemerintah pusat, bukan daerah, memeriksa K3 perusahaan nikel itu. Itu berbahaya sekali. Penyelesaian memang sudah ada dalam rupa pemberian santunan tapi teman-teman (pekerja) ini merasa terancam karena K3 di sana buruk sekali, menurut informasi yang kami terima,” jelasnya.
Masalah kedua adalah kenaikan upah pekerja yang disebut jauh dari memuaskan. Said mengeklaim, para pekerja yang telah mendedikasikan diri sebagai buruh bertahun-tahun hanya mendapatkan kenaikan upah sekitar Rp 75.000, sedangkan gaji mereka diklaim di kisaran Rp 3,6 juta.
Upaya komunikasi dan negosiasi dengan pihak manajemen lokal disebut berlangsung buntu dan pekerja merasakan adanya arogansi dari pihak manajemen. “Ada kecongkakan dari head office dan manajemen lokal yang mengancam akan mem-PHK mereka. Masak berunding mengancam?” ungkap Said.**
Sumber: PMJNews/Kompas.com