Dinas Pendidikan, Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Jayapura, Grace Linda Yoku, saat mengecek kesiapan aksesoris yang akan digunakan para penari untuk ditampilkan dalam memeriahkan HUT ke-78 Kemerdekaan Indonesia.(Foto: Ist)
JAKARTA, Pewartasatu.com – Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Jayapura melalui Bidang Kebudayaan melibatkan pemuda dan masyarakat kampung untuk memeriahkan Hari Ulang Tahun atau HUT ke-78 Kemerdekaan Republik Indonesia dengan tarian adat dan aksesoris khas budaya daerah.
“Kegiatan ini merupakan upaya pelestarian kebudayaan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang pemajuan kebudayaan,” ujar Kepala Bidang Kebudayaan, Grace Linda Yoku, mewakili Plt Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Jayapura, Abdul Majid, di Kantor Wali Kota Jayapura, Selasa (8/8/2023).
Dinas Pendidikan Kota Jayapura melibatkan rumah sanggar tradisional yang berada di lima kampung adat, yaitu Kampung Yoka, Kampung Kayu Batu, Kampung Enggros, Kampung Skouw Mabo, dan Kampung Nafri.
“Ada lima benda budaya yang harus dilestarikan, seperti tifa, hiasan kepala untuk menari [laki-laki dan Perempuan], noken [tas khas Papua], rumbai-rumbai, dan aksesoris untuk ditampilkan,” ujarnya.
Dalam melestarikan budaya, dikatakan Grace Yoku, karena budaya merupakan sebuah identitas bangsa beranekaragam di setiap daerah yang menjadi hal terpenting dalam perjalanan peradaban manusia dalam mengenal leluhurnya.
“Jadi ini masuk ke dalam benda-benda yang harus dilestarikan dan dikembangkan serta didokumentasikan. Pelestarian budaya adalah sebuah sistem yang besar sehingga melibatkan masyarakat agar saling terhubung antar sesama,” ujarnya.
Dinas Pendidikan Kota Jayapura melibatkan pemuda dan masyarakat kampung agar nilai-nilai leluhur budaya yang ada dalam suatu tradisi dapat tetap dipertahankan di tengah gempuran era globalisasi.
“Kami upayakan diambil dari kampung adat masing-masing, karena mempunyai ciri khas yang berbeda, sehingga muncullah khasanah budaya yang begitu luar biasa dapat muncul sesuai dengan budaya masing-masing,” ujarnya.
Melibatkan rumah sanggar tradisional yang berada di lima kampung adat, lanjut Grace Yoku, tarian adat dihiasi dengan aksesoris budaya masing-masing kampung yang dilibatkan dalam memeriahkan HUT ke-78 Kemerdekaan Indonesia.
“Jadi, kami tidak ambil dari satu tempat tetapi masing-masing disiapkan oleh ibu-ibu di kampung itu dan diajarkan kepada generasi penerus. Jadi ada kerjasama antara bapa, mama, dan anak dalam mempersiapkan benda-benda budaya,” ujarnya.
Melalui kegiatan ini, dikatakan Grace Yoku, ada pelestarian nilai-nilai budaya yang tadinya akan hilang bisa diajarkan dan dikembangkan kembali dari generasi tua ke generasi muda
Begitupun juga dengan tari-tarian, lanjut Grace Yoku, diiringi lagu tradisional yang akan ditampilkan oleh anak-anak mulai usia dari 10-18 tahun, sehingga mereka bisa mengetahui makna dan isi cerita dalam tarian itu
“Satu kampung yang menari ada 20 orang. Dengan adanya perayaan HUT ke-78 Kemerdekaan Indonesia, harapan kami agar kebudayaan Port Numbay [Kota Jayapura] semakin dicintai, dicari, digali, dan diperkenalkan kembali,”.
“Nilai-nilai budaya mereka yang selama ini mereka lihat tapi tidak paham, mereka mengenali dan menjadi generasi milenial, dan bisa melestarikan nilai-nilai budaya yang berada di kampung masing-masing,” ujar Grace Yoku.
“Jadi bicara budaya adalah bicara tentang identitas diri, tentang integritas, tentang siapa kamu dan siapa saya. Saya mengajak generasi Port Numbay yang tersebar di 14 kampung agar melestarikan budaya agar tidak hilang,” sambungnya.
Ketua Sanggar Hebeibhuku Bha dari Kampung Yoka, Adriana Mebri, mengaji sangat senang ikut terlibat memeriahkan HUT ke-78 Kemerdekaan Indonesia dengan menampilkan tarian adat dan aksesoris budaya dari Kampung Nafri.
“Tarian adat [umum] yang selalu dibawakan pada acara-acara adat di Kampung Yoka. Terima kasih Pemerintah Kota Jayapura melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan yang sudah melibatkan kami,” ujarnya.
Mebri menjelaskan tarian adat yang dihiasi aksesoris seperti rok untuk para penari terbuat dari kayu Yonggoli (salah satu pohon yang berada di hutan) yang dimanfaatkan oleh masyarakat.
“Proses pembuatan rok dari kulit kayu ini dengan cara merendam kayu selama empat hari kemudian dikeluarkan kulit luarnya dan bagian isinya dijemur dan dijadikan rok,” ujarnya.
Selain rok, lanjut Mebri, ada juga topi mahkota yang terbuat dari kulit kayu dihiasi dengan pernak-pernik dari kerang, ikat lengan, dan ikat kaki yang terbalut dari kayu Yonggoli.
“Harapan saya, generasi muda khususnya di Kampung Yoka, agar mencintai budaya dengan cara mempelajari dan mempraktekkannya agar tetap lestari. Begitu juga dengan bahasa daerah harus dilestarikan agar tidak punah,” katanya.
Kepala Suku Kampung Enggros, Zeth Itaar, mengatakan dalam memeriahkan HUT ke-78 Kemerdekaan Indonesia, pemuda dan masyarakat di Kampung Enggros ikut menampilkan tarian adat dan aksesoris budaya.
“Kami menampilkan tarian nelayan. Kampung Enggros merupakan kampung nelayan, sehingga semua alat untuk tarian dibuat menggambarkan aktivitas nelayan mulai dari atas laut (burung camar) dan dasar laut serta permukaan laut,” ujarnya.
Itaar mejelaskan aksesoris yang digunakan dalam tarian adat mempunyai filosofi yang menggambarkan kehidupan nelayan mulai dari kepala sampai kaki, seperti aksesoris di badan menggambarkan jaring untuk menangkap ikan dan hiasan kaki duri babi.
“Kalau yang digunakan penari terbuat dari akar pohon pandan. Burung camar mendadak bila sedang bergerombol bermain di atas permukaan laut menandakan ada ikan. Harapan saya generasi muda terus melestarikan budaya agar tidak hilang,” jelasnya.
Itaar menambahkan budaya dan bahasa daerah terus diajarkan kepada generasi muda baik di lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat demi menjaga dan melestarikan warisan leluhur. (**)