Politik

Filep: Ironi di Hari Perdamaian, Tanah Papua Masih Jadi Ruang Militerisme

JAKARTA, Pewartasatu.com– Hari Perdamaian Internasional sesungguhnya mengandung harapan akan lahirnya suatu tatanan dunia tanpa senjata, saling menghormati Hak Asasi Manusia (HAM) demi sebuah peradaban yang humanis. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) telah mendeklarasikan 21 September sebagai hari memperingati dan memperkuat cita-cita dunia perdamaian baik internal negara maupun antara bangsa-bangsa.

Sebagai salah satu anggota PBB, kata Wakil Ketua Komite I DPD RI, Dr Filep Wamafma kepada Pewartasatu.com di Jakarta, Selasa (21/9), Indonesia tentu saja ikut berkomitmen menciptakan perdamaian. Dan, cita-cita perdamaian itu dimuat dalam Pembukaan UUD 1945.

Namun, jelas senator dari Dapil Provinsi Papua Barat ini, pada peringatan hari perdamaian internasional ini, dia mengajak semua kalangan menilik kembali berbagai peristiwa yang terjadi di dalam negeri, khususnya di tanah Papua.

Peristiwa terbaru penyerangan yang terjadi di Puskesmas Distrik Kiwirok, Kabupaten Pegunungan Bintang, yang melibatkan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), 13 September lalu. Suara tembakan senjata antara TPNPB OPM dengan TNI/Polri masih menjadi ‘nyanyian’ di tanah Papua.
“Kerinduan masyarakat akan kedamaian dan kehidupan tanpa ketakutan masih menjadi cita-cita sebagian Orang Asli Papua (OAP) yang terdampak konflik. Karena itu, ajakan untuk menyuarakan perdamaian masih sangat relevan para hari perdamaianinternasional 2021 ini.” kata Filep.

Mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Papua Barat ini menyebut, siklus kekerasan di Papua tidak bisa diselesaikan dengan cara-cara lama (pendekatan militer) lantaran tidak membuahkan hasil maksimal sebagaimana terjadi selama ini.

“Di momenhariperdamaianini, marikitamelakukanrefleksiatasapa yang terjadidenganmasyarakatsipil di Papua. Dalam pandangan saya, sejak awal Operasi Militer menjadi pilihan utama, hal itu memang berpotensi menjadi bumerang.” tegas Filep.

Akademisi STIH Manokwari ini, sering menyuarakan kepada pemerintah agar menarik pasukan militer yang diterjunkan ke tanah Papua. Menurut dia, pendekatan budaya dan dialog salah satu jalan yang bisa ditempuh untuk mengurai konflik yang terjadi.

“Ironi di Hari Perdamaian Internasional, Papua masih menjadi ruang militerisme. Kemanusiaan rakyat sipil adalah hal utama yang harus terus diperjuangkan. Karena itu, kita harus selalu memperbarui komitmen dalam rangka menjadi agen-agen perdamaian dimanapun berada.”

Melalui momentum hari perdamaian ini, Doktor Alumni Universitas Hasanuddin (Unhas) Makasar itu mengajak para pemangku kepentingan untuk menerapkan strategi pengarusutamaan (kepedulian) perdamaian dalam setiap sektor pembangunan di Papua. “Atas dasar itu, diharapkan setiap kebijakan yang dilakukan telah melalui proses partisipatif dan aspiratif,” demikian Dr Filep Wamafma. (fandy)

Leave a Comment