Aktual Featured Kesra

Hukum Pelaku Kekerasan Seksual Berbasis Agama di Pondok Pesantren Mamuju dan Pamekasan

Deputi Perlindungan Khusus Anak, KemenPPPA ,Nahar. (Foto : Humas KemenPPPA)

 

JAKARTA, Pewartasatu.com – Sangat disesalkan, sampai saat ini masih terjadi kekerasan seksual di sekolah berbasis agama.

Dua kasus yang terungkap di pondok pesantren Kabupaten Pamekasan dan sekolah madrasah di Kabupaten Mamuju tidak bisa ditoleransi lagi.

Kasus kekerasan seksual dengan tindak pidana pencabulan di Pamekasan menyebabkan tiga korban santriwati, sedangkan di Mamuju tujuh murid perempuan madrasah. “Pelakunya adalah pendidik yang seharusnya mengasuh, mengayomi, dan mengajarkan ilmu agama, justru melakukan pelecehan dan kekerasan seksual pada anak didiknya.

Karenanya KemenPPPA mengecam keras kasus kekerasan seksual pada anak, ini adalah tindak kejahatan serius,” tegas Deputi Perlindungan Khusus Anak, KemenPPPA Nahar, Rabu (09/02/2022).

Kasus yang memprihatinkan tersebut telah ditangani oleh Kepolisian Resor (Polres) Pamekasan dan Kepolisian Resor Kota (Polresta) Mamuju dan mengamankan pelakunya. KemenPPPA menghargai upaya lembaga yang turut terlibat, khususnya Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perlindungan Perempuan dan Anak (PPTP3A) Kabupaten Pamekasan dan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Provinsi Sulawesi Barat yang melakukan penjangkauan terhadap korban.

KemenPPPA meminta agar Aparat Penegak Hukum dapat memberikan hukuman sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Merujuk pada kronologis perkara, jika memenuhi unsur Pasal 76E Undang-Undang Nomor 35 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, selanjutnya Pelaku dapat dijerat dengan Pasal 82 Ayat (1), (2), dan (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana dan pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku serta tindakan berupa rehabilitasi dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.

Kemen PPPA telah berkoodinasi dengan UPTD PPA Provinsi Sulawesi Barat dalam upaya asesmen korban serta PPTP3A Kabupaten Pamekasan yang telah melakukan kunjungan dan terapi psikologis kepada para korban, membantu untuk mendampingi korban kembali menempuh pendidikan/latihan kerja atau kembali ke pesantren, serta melakukan pendampingan proses hukum sampai di persidangan.

“Kemen PPPA akan terus mengawal kasus ini hingga tuntas, mulai dari proses hukum hingga reintegrasi sosial korban ke lingkungan masyarakat. Proses pemulihan korban sangat perlu dan menjadi perhatian serius kami,” tegas Nahar.

Nahar mendesak seluruh pendidik di sekolah berbasis agama harus melakukan pencegahan dan pengawasan perlindungan anak dari kekerasan, khususnya kekerasan seksual. Masyarakat dan instansi yang berwenang diharapkan juga tidak lalai melakukan pengawasan.

Orangtua mempercayakan anak mengikuti pendidikan di sekolah berbasis agama dengan harapan anak akan mendapat ilmu keagamaan yang mumpuni karena mendapat didikan dari para pihak yang sudah berpengalaman dalam keilmuan.

Sekolah berbasis agama seperti pesantren diyakini sebagai tempat yang aman, namun akhir-akhir ini tindakan keji dari berbagai pendidik telah merusak citra baik pesantren dan sekolah berbasis agama lainnya. (Maulina)

Leave a Comment