Jalur Rempah Bisa Jadi Destinasi Pariwisata Nasional

Jakarta, Pewartasatu.com – Jalur rempah yang sedang dikembangkan pemerintah sangat berpotensi dikembangkan sebagai pariwisata berkelanjutan di Indonesia. Namun, untuk mencapai hal itu dibutuhkan dukungan, keterlibatan dan komitmen dari pemangku kepentingan pariwisata.

Menurut Dekan Fakultas Pariwisata Universitas Pelita Harapan (UPH) Prof. Dr. Diena Mutiara Lemy, A.PAR., jalur rempah memiliki kekuatan atau peluang yang sangat besar, karena memiliki nilai sejarah yang tak ternilai. Selain itu, wisatawan dunia menjadikan tourism heritage sebagai salah satu pilihan berwisata.

“Peluang lainnya adalah Indonesia sedang giat mengembangkan destinasi wisata baru dengan konsep berkelanjutan,” kata Prof.Diena saat menjadi narasumber dalam Webinar Nasional “Jalur Rempah, Jalan Kebudayaan Menuju Sustainable Living”, yang digelar Archipelago Solidarity Foundation bekerja sama dengan Sinar Harapan.Net, Kemendikbudristek, Universitas Pattimura, Universitas Islam Negeri Ambon, UKI Maluku, Politeknik Negeri Ambon dan Institut Agama Kristen Protestan Negeri awal pekan ini.

Namun menurut Prof.Diane, ada tiga tantangan utama untuk menjadikan jalur rempah sebagai pariwisata berkelanjutan, yakni membutuhkan komitmen pemerintah sebagai regulator serta adanya kesadaran (awareness) dan minat generasi muda terhadap jalur rempah.

“Tantangan lain tentu membutuhkan pendanaan dan investasi yang besar untuk mengembangkan jalur rempah sebagai destinasi wisata,” katanyqla

Guru Besar Pariwisata ini mengatakan, kunci utama kesuksesan pengembangan pariwisata berkelanjutan sangat ditentukan oleh visi, tujuan dan manajemen destinasi yang baik. Selain itu juga butuh keterlibatan dan komitmen pemangku kepentingan, inovasi produk pariwisata, dukungan dari sektor lain serta pembiayaan dan investasi yang memadai.

“Untuk mengembangan jalur rempah di Maluku, jelas Diena, sangat bagus heritage tourism, story telling, marine tourism (wisata bahari) dan mengembangkan sebagai MICE (meeting, incentive, convention dan exhibition),” ujarnya.

Pada kesempatan yang sama, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), Sandiaga Salahuddin Uno menyatakan mendukung pengembangan potensi Jalur Rempah yang merupakan jalur legendaris yang menghubungkan dunia barat dan timur.

“Jalur rempah memiliki potensi besar bagi pariwisata Indonesia untuk digali dan dikembangkan. Potensi Jalur Rempah tidak kalah dengan jalur sutra China yang sudah mendunia,” kata Sandiaga Uno.

Menurut Sandiaga, jalur rempah bagi Indonesia memiliki potensi yang dapat digali dan dikembangkan, yakni wisata sejarah (susur), kulinur maupun wellnes. Pemerintah mendorong spice of the world agar kuliner hadir di manca negara dan memberi nilai tambah bagi Indonesia.

“Saya harap semua pihak berkolaborasi untuk mengembangkan pariwisata dan ekonomi kreatif berbasis rempah untuk mengembangkan ekonomi dan media aktualisasi untuk warisan budaya,” pungkasnya.

Tak Masuk Destinasi Prioritas
Sementara Rektor Universitas Pattimura Ambon, Prof. Dr. M.J. Saptenno mengaku
heran, Maluku tidak termasuk atau tidak dilirik samasekali dalam destinasi prioritas nasional atau yang sering disebut Bali baru,  meski potensi yang ada sangat luar biasa.  “Jika memang mau mensejahterakan Maluku, mengapa tidak menjadikan Maluku sebagai satu destinasi prioritas,” ujarnya.

Saptenno bahkan mengaku hingga saat ini belum melihat ada kebijakan pemerintah pusat yang nyata untuk mempercepat kesejahteraan di Maluku. Dalam hal ini kekayaan alam Maluku hanya dibanggakan, tetapi tidak memperlihatkan adanya perhatian serius dari pemerintah.

“Sebagai pimpinan universitas, terus terang, saya prihatin dengan kebijakan yang ada di Maluku. Pembangunan dari pinggir Presiden Jokowi tidak terlihat di Maluku. Bahkan, jaringan komunikasi saja masih sangat susah. Kita sudah merdeka 75 tahun ya masih begini,” tegasnya.

“Jika situasi ini dibiarkan terus-menerus, maka Maluku akan tetap tertinggal, apalagi dukungan anggaran dari pusat dari tahun ke tahun hampir tidak berubah, sehingga  akan sangat sulit untuk meraih perubahan yang diharapkan,” lanjut dia.

Terkait jalur Rempah, menurutnya harus ada kolaborasi antara perguruan tinggi, lembaga non pemerintah dan semua pihak untuk bersama-sama mencari solusi mengangkat kembali citra rempah Maluku sehingga membawa manfaat bagi kesejahteraan Maluku. “Hanya dengan cara seperti itu, rempah bisa membawa pengaruh bagi hidup berkelanjutan,” kata Prof. Saptenno.

Simpan Potensi Networking
Sementara Direktur Archipelago Solidarity Foundation, Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina mengatakan, bahwa jalur rempah menyimpan potensi sebagai networking yang menghubungkan Indonesia dengan negara lain yang membawa manfaat bagi masa kini dan masa depan, sehingga perlu mendapat perhatian serius.

“Kami mengharapkan webinar ini menghasilkan gagasan, ide-ide baru untuk semakin memperkuat jalur rempah sebagai identitas, sekaligus menjadi jalur rempah ini sebagai networking baik dari bidang kebudayaan, pariwisata, ekonomi, lingkungan hidup dan sebagainya,” kata Engelina.

Menurut dia, jalur perdagangan rempah ini bukan sekadar kisah perdagangan komoditi rempah, namun menjadi jalur peradaban umat manusia yang mendorong terjadinya Revolusi Sejarah, Revolusi Ekonomi hingga Revolusi Ilmu Pengetahuan.

“Ada begitu banyak peluang yang dikembangkan melalui keberadaan jalur rempah, termasuk untuk Maluku, misalnya mengembangkan pusat marine ecotourism, wisata jalur rempah seperti sejarah, benteng, wisata cengkih, wisata pala, wisata  cendana dan sebagainya,” paparnya.

Maluku, lanjut Engelina, sebenarnya memiliki keunikan hayati juga, sehingga sangat penting untuk mempertimbangkan adanya semacam botanical garden Rumphius, museum Wallace dan sebagainya. Hal seperti ini bukan sekadar menjadi destinasi wisata, tetapi juga merupakan edukasi lingkungan hidup yang sangat baik bagi semua generasi.

“Sebenarnya era rempah dan era pandemic saat ini terjadi revolusi peradaban umat manusia. Bahkan, sangat tepat kalau ada yang menyatakan sesungguhnya pencarian rempah telah memicu globalisasi pertama dan globalisasi saat ini merupakan globalisasi kedua di masa modern,” demikian Engelina Pattiasina.(Arief)

syarif: