Kebijakan Stop Impor Pakaian Bekas Akibat Presiden Tak Diberi Data yang Akurat

JAKARTA, Pewartasatu.com – Kebijakan pemerintah dalam hal ini Presiden RI, Joko Widodo terkait dampak pakaian bekas impor terhadap UMKM karena mendapatkan data yang tidak akurat dan tidak benar dari para menterinya.

Anggota DPR RI, Adian Napitupulu mengaku heran dengan para menteri yang berlomba lomba mengejar, membakar dan menuduh pakaian bekas itu menjadi tersangka tunggal pelaku pembunuhan UMKM.

“Seharusnya para menteri itu berupaya mengevaluasi peraturan dan jajarannya untuk memberi ruang hidup lebih besar, melatih cara produksi, cara marketing bahkan kalau perlu membantu para UMKM itu menerobos pasar luar negeri. Jangan hanya bisa mencari kambing hitam saja,” kata anggota Fraksi PDIP ini.

Menurut Sekjen PENA 98 ini, jika dikatakan bahwa pakaian Thrifting membunuh UMKM maka ia mempertanyakan data yang digunakan para menteri itu. Pasalnya berdasarkan data dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia, impor pakaian jadi dari negara Cina menguasai 80% pasar di Indonesia.

“Kita ambil contoh di tahun 2019 impor pakaian jadi dari Cina 64.660 ton sementara menurut data BPS pakaian bekas impor di tahun yang sama hanya 417 ton atau tidak sampai 0,6 % dari impor pakaian jadi dari Cina. Di tahun 2020 impor pakaian jadi dari Cina sebesar 51.790 ton sementara pakaian bekas impor hanya 66 ton atau 0,13% dari impor pakaian dari Cina. Tahun 2021 impor pakaian jadi dari Cina 57.110 ton sementara impor pakaian bekas sebesar hanya 8 ton atau 0,01% dari impor pakaian jadi dari Cina,” papar Adian.

Masih kata Adian, jika impor Pakaian Jadi dari Cina mencapai 80% lalu pakaian jadi impor Bangladesh, India, Vietnam dan beberapa negara lain sekitar 15 % maka sisa ruang pasar bagi produk dalam negeri cuma tersisa maksimal 5% itupun sudah diperebutkan antara perusahaan besar seperti Sritex, ribuan UMKM dan Pakaian Bekas Impor.

“Selain itu, dari 417 ton impor pakaian bekas itu pun tidak semuanya bisa dijual ke konsumen karena ada yang tidak layak jual. Rata rata yang bisa terjual hanya sekitar 25 % hingga 30 % saja atau di kisaran 100 ton saja,” ungkap salah satu penggemar barang bekas ini.

Dari data di atas, Adian juga mengaku tidak menemukan argumentasi rasional upaya pemburuan pelaku Thrifting selain dari permintaan para importir pakaian jadi yang menguasai 80% pasar Indonesia.

“Atau jangan-jangan perintah bumi hangus pakaian bekas ini permintaan istri pejabat yang tidak rela ada tukang ojek online yang pakai sepatu merk Bally dan mbak pedagang sayur yang pakai jaket Balenciaga atau mungkin anak para pejabat penggemar Rubicon protes keras ketika montir bengkel tempat Rubicon ganti oli ternyata pakai kaos Branded,” cetusnya.

“Semoga nanti tidak ada kasus orang miskin dipukuli karena pakai baju branded yang dia beli di Gede Bage atau Pasar Senen yang kebetulan sama warna, merek dan motif dengan baju branded anak pejabat pemilik Rubicon itu. Konon anak pejabat kaya sering tersinggung berat kalo dapat saingan,” lanjutnya.

Adian sendiri mengaku sebagai salah satu penggemar barang bekas, tidak hanya pakaian bekas tapi juga bahan bangunan bekas, furniture bekas hingga marmer, tegel hingga genteng bekas.

“Bahkan saya membangun desa wisata dan rumah berlantai marmer, pagar stainless, besi WF dari bekas bongkaran rumah dan gudang. Bagi saya membeli bahan bangunan bekas bagian dari komitmen menyelamatkan bumi dengan mengurangi sekian meter pemotongan gunung marmer dan mengurangi penebangan pohon untuk Furniture,” paparnya.

Gerilya pakaian bekas, khususnya jaket kulit menjadi hiburan tersendiri bagi dirinya, bahkan menganggapnya sebagai wisata yang menyegarkan karena menemukan banyak model unik yang tidak didapat di mall, pasar bahkan Tanah Abang sebagai pasar pakaian terbesar di asia tenggara.(**)