KULTUM: Lailatul Qadar Disebut Malam yang Sempit? Ini Versi Quraish Shihab

Pakar tafsir ilmu Al Qur’an Profesor Muhammad Quraish Shihab/ foto:instagram/pewartasatu.com

JAKARTA. Pewartasatu.com —Pada bulan puasa terdapat satu malam istimewa yakni malam lailatul qadar.Malam yang kerap disebut malam seribu bulan dan dikaitkan dengan 10 hari terakhir Ramadhan, juga ada yang menyebutnya sebagai malam yang sempit. Apa maknanya?

Pakar tafsir ilmu Al Qur’an Profesor Muhammad Quraish Shihab membenarkan bahwa lailatul qadar merupakan malam yang sempit karena terlalu banyak malaikat yang turun ke bumi.

“Itu yang membuat lailatul qadar sempit, banyaknya malaikat yang turun ke bumi pada saat itu,” katanya dalam tayangan Shihab & Shihab NU online, Senin (25/4/22).

Tak hanya itu, ia juga menyebutkan dua hal lain yang menggambarkan lailatul qadar, yakni malam penentuan dan kemuliaan yang menjadikannya berjuluk sebagai malam seribu bulan.

“Salah satu yang paling ditentukan adalah diturunkannya Al-Qur’an, (dan) bisa juga yang berkaitan dengan kehidupan manusia,” beber cendekiawan muslim Indonesia itu.

“Begitupun dengan seribu bulan, mengapa seribu bulan? karena memang keindahannya tidak dapat dilukiskan,” sambung Prof Quraish.

Keindahan pada malam tersebut, menurut dia, tidak dapat dijangkau oleh akal manusia. Itu sebabnya dalam Al Qur’an tertulis, innaa anzalnaahu fii lailatil-qadr, dan dilanjutkan dengan ayat, wa maa adraaka maa lailatul-qadr.

“Apa yang menjadikan engkau tahu tentang lailatul qadar, kamu tidak bisa tahu,” tutur penulis buku Membumikan Al-Qur’an itu.

Dijelaskannya, semua kata wa maa adraaka itu menggambarkan bahwa akal manusia tidak mampu untuk menjangkaunya.

Oleh sebab itu, Prof Quraish menyarankan, ketika berbicara soal lailatul qadar maka merujuklah kepada Al-Qur’an atau penjelasan Nabi Muhammad saw.

“Tidak bisa diakal-akali,” tegas pengarang Tafsir Al-Misbah itu.

Lebih lanjut, ia menjelaskan, dalam Al-Qur’an terdapat dua indikator terjadinya lailatul qadar. Kedua hal itu adalah, turunnya malaikat ke bumi dan rasa damai.

Tanazzalul malaa-ikatu warruhu fiiha bi idzni rabbihim min kulli amr, selanjutnya, salaamun hiya hattaa mathla’il fajr. Dua indikator ini yang menentukan lailatul qadar,” jelas tokoh kelahiran 16 Februari 1944 itu.

Kehadiran malaikat, terang dia, dapat diketahui dengan menguatnya jiwa-jiwa manusia untuk melakukan kebaikan. “Karena malaikat itu fungsinya mendorong orang kepada kebaikan,” terang penulis buku Lentera Hati itu.

“Jadi, apabila seseorang terdorong melakukan kebaikan, artinya orang itu sedang merasakan kehadiran malaikat,” imbuh dia.**

Sumber: nu online/220425

Brilliansyah: