Featured MUTIARA RAMADHAN

KULTUM: Menajamkan Kepekaan pada Mereka yang Lapar

Illustrasi sedeqah dan kepekaan dengan upaya membelenggu nafsu tamak terhadap kekayaan yang melenakan/Illustrasi: nu online/teks:pewartasatu.

JAKARTA. Pewartasatu.com — Kata kunci yang paling banyak beredar dan disinggung di bulan puasa di antaranya adalah lapar dan dahaga. Ramadhan memang menjadi momentum berhentinya makan dan minum serta hal-hal lain yang membatalkan puasa mulai dari subuh hingga maghrib.

Asupan nutrisi tubuh dikekang di siang hari. Demikian juga aktivitas birahi meskipun dengan pasangan sendiri.

Makan dan minum sejatinya merupakan kegiatan halal dan menjadi kebutuhan alamiah manusia. Namun, di siang hari bulan Ramadhan, semua yang halal tersebut diharamkan bagi mereka yang berkewajiban puasa. Tentu ini memiliki makna tersendiri.

Ibarat memasak daging mentah yang alot, Ramadhan adalah sarana untuk merebus kerasnya hati kita, membakar kotoran-kotoran yang menempel, serta melunakkan dan menjinakkan nafsu yang selama sebelas bulan terlalu kita manja.

Syekh Izzuddin bin Abdissalam dalam Maqashidus Shaum mengaitkan lapar dan haus saat puasa dengan setidaknya tiga hikmah.

Pertama, puasa adalah kawah candradimuka bagi ditaklukkannya hawa nafsu. Seperti kita tahu, makan dan minum merupakan “bahan bakar” bagi dilakukannya berbagai aktivitas, termasuk aktivitas maksiat.

Dengan lapar dan dahaga, mengurangi asupan bahan bakar itu, seseorang diharapkan dapat mengendalikan syahwat dan nafsunya. Itulah kenapa Nabi Muhammad menganjurkan orang yang belum mampu menikah untuk memperbanyak puasa.

Puasa akan membantunya berpaling dari perilaku negatif kepada kegiatan positif lagi bermanfaat.

Kedua, lapar dan dahaga saat puasa juga bisa mengingatkan tentang lapar dan dahaganya penduduk neraka.

Lapar dan dahaga di dunia jauh lebih ringan ribuan kali lipat dibanding di akhirat kelak. Apalagi bila puasa itu dilaksanakan di tengah suasana yang sangat kondusif seperti Indonesia, negeri berpenduduk mayoritas Muslim.

Mengingat perihnya siksa di neraka semacam itu, orang yang berpuasa diharapkan terdorong lebih aktif menjalankan ketaatan.

Ketiga, lapar dan dahaga menurut Syekh Izzuddin juga mengantarkan seseorang pada rasa empati kepada mereka yang membutuhkan, kemudian memberi pertolongan.

Beliau berkata dalam Maqâshid al-Shaum, yang artinya: “Karena sesungguhnya orang berpuasa saat merasakan lapar, dia mengingat rasa lapar itu. Hal itulah yang memberikan dorongan kepadanya untuk memberi makan pada orang yang lapar.”

Cukup terang bahwa puasa didesain bukan untuk kepentingan diri kita sendiri. Rasa lapar dan haus yang kita rasakan seyogianya menajamkan kepekaan kita terhadap orang-orang yang lapar di luar sana, atau bahkan mungkin di dekat kita.

Kondisi sehari-hari yang selalu kenyang dan serba berkecukupan memang potensial menumpulkan perasaan untuk empati terhadap penderitaan orang lain.

Melalui puasa yang hanya berdurasi belasan jam, umat Islam dipandu untuk mengenali kondisi kekurangan saudara-saudaranya, tetangga-tetangganya, yang sehari-hari terbiasa lapar dan berakhir entah kapan.

Tujuan pokok dari empati itu tentu saja adalah solidaritas sosial. Rasa belas kasihan mendorong adanya aksi uluran tangan.

Itulah indahnya ajaran Islam, harmoni masyarakat tidak sekadar diwujudkan dengan sikap saling tenggang rasa tetapi juga saling membantu dan saling menguatkan. Masing-masing dari kita punya kelebihan dan kekurangan. Konsekuensi hidup bersama adalah terjadinya saling melengkapi  kekurangan-kekurangan itu.

Rasulullah bersabda: مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا

Artinya: “Siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun juga.” (HR. Tirmidzi).

Keutamaan menyediakan hidangan bagi orang berbuka puasa yang disebut dalam hadits ini semestinya bisa kita maknai  lebih luas. Bukan semata menyodorkan takjil di masjid atau di jalan-jalan, melainkan juga memberi makan atau mencukupi kebutuhan mereka yang sedang didera kelaparan.

Dari sini kita akhirnya bisa juga mengimplementasikan keistimewaan “menghidangkan buka puasa” di luar bulan Ramadhan, karena fenomena “puasa” kaum fakir miskin selalu ada sepanjang masa.

Lapar, haus, dan kesulitan memenuhi kebutuhan primer lainnya memang menjadi “rutinitas” mereka.

Selalu ada rahasia di balik ibadah. Dan, nilai bijak di balik praktik puasa salah satunya adalah membelenggu nafsu tamak terhadap kekayaan yang melenakan. Kenyang yang keterlaluan memang bisa membuat orang bermalas-malasan, mengantuk, bahkan tertidur.

Semoga melalui wasilah puasa Ramadhan tahun ini kita semua diselamatkan Allah dari rasa kenyang yang membuat kita malas berempati, mengantuk saat dibutuhkan orang lain, dan tidur menghadapi ketidakadilan yang menimpa sesama kita. Amin. ( mahbib khoiron)

[disarikan dari: Khutbah Jumat dengan judul yang sama. Artikel ini terbit atas kerja sama antara NU Online dan UNDP]

Sumber: nu online/nu.or.id/220418.

Leave a Comment