Featured MUTIARA RAMADHAN

KULTUM: Puasa Jadi Sarana Memperkuat Solidaritas Sosial

Illustrasi  solidaritas sosial /kabarbanten.com

JAKARTA. Pewartasatu – Menunaikan ibadah puasa Ramadhan merupakan bentuk ketaatan seorang Muslim kepada Allah swt.

Tapi, puasa tak saja berbicara soal hubungan antara hamba dengan Tuhannya, melainkan juga bagaimana dengan puasa satu bulan penuh ini bisa menumbuhkan sekaligus memperkokoh solidaritas sesama Muslim, bahkan sesama manusia tanpa memandang latar belakang agama.

Puasa yang kita jalani seharian mulai dari terbit fajar sampai matahari terbenam tidak saja untuk menahan lapar dan dahaga.

Memang, jika syarat dan rukunnya terpenuhi, puasa sudah sah. Tetapi ibadah yang baik adalah ibadah yang selain memiliki dampak positif bagi diri pribadi juga mempunyai pengaruh bagi lingkungan sekitar, terlebih lagi puasa Ramadhan yang sebenarnya memiliki dampak sosial tinggi jika betul-betul dipahami.

Dalam haditsnya Rasulullah saw bersabda, yang artinya: “Siapa yang memberi makanan kepada orang yang berpuasa untuk berbuka, maka baginya pahala seperti orang puasa tanpa mengurangi sedikit pun dari pahala orang puasa tersebut.” (HR at-Tirmidzi).

Secara gamblang hadits di atas mendorong seseorang agar mau bersedekah dengan memberi makanan atau minuman kepada sesama Muslim untuk berbuka puasa.

Pahala yang diperoleh pun tidak tanggung-tanggung, yaitu mendapat nilai sepadan dengan orang yang melaksanakan puasa. Ini merupakan bukti bahwa dalam ibadah puasa terdapat solidaritas sosial yang sangat tinggi.

Selama ini kita mungkin merasa sangat gembira jika mendapat undangan buka bersama (bukber) di rumah teman, kerabat, atau sanak saudara. Tapi, mulai sekarang mari kita ubah mindset atau cara berpikir kita.

Bagaimana agar bulan puasa tahun ini dan seterusnya kita tak hanya menerima undangan bukber ‘gratis’, tapi juga menjadi tuan rumah yang mengundang orang lain untuk menikmati hidangan buka puasa.

Jika belum bisa memberi banyak, paling tidak mentraktir sahabat sendiri untuk sekadar takjil puasa seadanya. Toh, nilai sedekah tidak saja diukur dari kuantitasnya, besar atau kecilnya, melainkan juga keikhlasan dari pemberi.

Malah jika kita berusaha memberi yang banyak tapi tidak ikhlas, sedekahnya akan percuma. Tentu, akan lebih sempurna jika kita bisa memberi banyak dan dibarengi niat yang ikhlas pula.

Dalam satu hadits yang mendorong umat Muslim untuk memperbanyak sedekah di bulan Ramadhan disebutkan, “Dari Anas ra dikatakan: ‘Wahai Rasulullah, sedekah apa yang nilainya paling utama?” Nabi menjawab: ‘Sedekah di dalam bulan Ramadhan’” (HR at-Tirmidzi).

Berangkat dari hadits di atas, Syekh Muhammad Abdurrauf al-Munawi dalam kitabnya, Faidhul Qadiî, menjelaskan, anjuran memperbanyak sedekah selama bulan Ramadhan merupakan bentuk tercurah ruahnya kasih sayang Allah kepada hamba-Nya.

Sebab itu pula, Rasulullah akan menjadi orang yang paling dermawan saat bulan suci ini tiba. (Muhammad Abdurrauf al-Munawi, Faidhul Qadîr, 1972: juz II, h. 38).

Solidaritas Universal

Lebih jauh, puasa juga mendidik seorang hamba tidak saja memiliki empati kepada sesama Muslim, tetapi juga manusia pada umumnya, tanpa melihat latar belakang agama.

Sudah barang tentu, orang yang berpuasa seharian di bulan Ramadhan akan merasakan beratnya menahan lapar dan dahaga.

Apalagi jika sudah memasuki waktu dzuhur, rasanya badan sudah lemas-lunglai, terlebih jika memiliki profesi yang bekerja di jalan seperti ojek online, sopir angkot, dlsb.

Dengan pengalaman demikian, seharusnya bisa menumbuhkan rasa empati kepada diri seorang Muslim bahwa menahan rasa lapar itu begitu berat. Daninilah yang selama ini dirasakan oleh orang-orang yang hidup serba kekurangan, yang untuk mengganjal lapar saja mereka harus mengais di tong sampah.

Syekh ‘Izzuddin bin Abdissalam menjelaskan, “Karena sesungguhnya orang berpuasa ketika dia merasakan lapar, dia mengingat rasa lapar itu. Hal itulah yang memberikan dorongan kepadanya untuk memberi makan pada orang yang lapar” (Imam Izzuddin bin Abdissalam al-Sulami, Maqâshidush Shaum, t.t: 16).

Kita masih mending menahan lapar hanya kurang lebih 13 jam dalam satu hari saat berpuasa, setelah itu bisa menikmati ragam hidangan bergizi. Sementara saudara-saudara kita yang hidup serba kekurangan bisa saja merasakan lapar sepanjang hari dan entah kapan akan berakhir.

Jika mereka bisa mengganjal lapar pun, kadang hanya bisa dengan makanan sisa yang diperoleh dari hasil mengais sampah.

Jika kita betul-betul mau mengamalkan kedua hadits Nabi di atas, tentu angka kemiskinan di negara ini perlahan akan menurun.

Jangan sampai di bulan yang katanya banyak anjuran ibadah sunnah seperti memperbanyak baca Al-Qur’an, shalat tarawih, dan sejumlah kesunnahan lainnya, justru ‘membutakan’ kita dari ibadah sosial seperti memperbanyak sedekah di atas.

Semakin manfaat ibadah bisa dirasakan banyak orang, semakin besar pula pahalanya. Lebih jauh lagi, prinsip dasar empati dan solidaritas sosial dalam ibadah puasa juga bisa diterapkan dalam banyak hal.

Misalnya solidaritas dalam menciptakan lingkungan yang sehat dengan bersama-sama menjaga protokol kesehatan selama pandemi Covid-19 masih berlangsung, menanamkan prinsip gotong-royong dalam bermasyarakat, dan sebagainya.

Sekilas puasa memang hanya mendidik rasa empati seseorang untuk memiliki sifat tenggang rasa kepada orang-orang yang hidup berkekurangan, tetapi jika ditarik ke nilai solidaritas universal, maka puasa juga mengajarkan kepedulian sesama dalam aspek kehidupan sosial yang lebih kompleks.

Semoga ibadah puasa tahun ini dan seterusnya bisa menjadikan kita hamba-hamba yang memiliki nilai solidaritas sosial tinggi, baik sesama Muslim atau manusia pada umumnya tanpa memandang latar belakang agama. Wallâhu a’lam. (Muhamad Abror).

Sumber: nu online/nu.or.id/220404

 

Leave a Comment