Masyarakat lagi antre BBM di salah satu SPBU di Kota Bekasi Jawa Barat. /POSJAKUT/ Nur Aliem Halvaima
JAKARTA. Pewartasatu.com – Pakar hukum pidana Dr.Muhammad Taufiq SH, MH berpendapat, kewajiban menggunakan aplikasi bagi pembeli Pertalite dan BBM bersubsidi adalah sebuah pemaksaan yang tidak ada dasar hukumnya sama sekali.
Alasannya, Pertalite atau BBM bersubsidi itu bukanlah barang gratisan, tapi beli. Kalau gratis, barangkali Preisden tidak perlu harus meminta persetujuan DPR.
Tapi kalau ini, melibatkan BUMN dan mata rantainya panjang, dan akumulasinya akhirnya mengambil uang rakyat.
Bayangkan, per-aktivasi Rp1000. – Nanti antri lagi, bayar lagi aplikasinya. “Itu yang Rp1000 aja sudah ratusan miliar uang yang didapat, sban hari,” komentarnya.
Kebijakan pemerintah cq PT Pertamina yang mewajibkan masyarakat / pelanggan pembeli BBM bersubsidi menggunakan apilkasi My Pertamina memang masih terus menuai protes dan keluhan dari masyarakat
Sebelumnya, seorang anggota DPR RI, Rofik Hananto menilai, keharusan menggunakan aplikasi MyPertamina ini dinilai tidak tepat dan semakin menyulitkan masyarakat.
Anggota Komisi VII DPR itu Sabtu, 2 Juli 2022 mengatakan, keharusan menggunakan aplikasi itu menambah keribetan rakyat memperoleh haknya.
Walau kebijakan ini untuk mengatur distribusi BBM bersubsidi agar tepat sasaran, tapi tujuannya belum jelas. Selain itu dia juga menilai data yang disajikan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) tidak akurat.
“Jadi, tanpa ada kriteria yang jelas, siapapun bisa mendaftar di MyPertamina, termasuk orang kaya yang tidak berhak (mendapat subsidi-red) ,” katanya.
Menurutnya seharusnya di era serba teknologi ini masyarakat dibuat mudah dan serba simpel, bukan malah semakin membuat ribet.
“Ini sebuah ide yang saya pikir sarat dengan kepentingan politis dan kepentingan kapitalis, dalam rangka nombokin utang-utang BUMN yang rata-rata minus,” kata Dr Muhammad Taufiq SH MH melalui channel youtube miliknya “MT&Partner” yang dikutip Selasa pagi 5 Juli 2022.
Advokat dari MT & Partner Lawfirm Surakarta mengatakan, Pemerintahan modern seharusnya tidak begitu. Di mana-mana pemerintahan modern itu melakukan praktik yang namanya deregulasi, penyederhanaan aturan. “Nah inikan mempersulit aturan namanya,” beber Taufiq.
Yang kedua, ini membebani rakyat. Ketiga, tidak punya dasar hukum. “Karena kalau dia memungut uang rakyat dan punya pendapatan, dia harus punya persetujuan DPR,” lanjut Taufiq.
Karena mekanisme penggunaan aplikasi My Pertamina ini tidak benar, Taufiq kemudian menawarkan tips – tips bagi masyarakat siapa saja yang mau, untuk bersama-sama mengajukan somasi. Siapa yang disomasi?
Menurutnya, PT Pertamina, Bupati/Walikota, Gubernur, cq. Pengusaha SPBU.
Kalau somasi tidak mempan, Presiden Asosiasi Ahli Pidana Indonesia (AAPI) ini mengajak masyarakat mengajukan gugatan.
Gugatannya perbuatan melawan hukum, karena law making proses (proses hokum) pembuatan aturan wajib gunakan aplikasi My Pertamina itu tidak benar, yaitu praktik pemerasan.
Siapa yang digugat? Menurut Taufiq, yang digugat adalah Menteri Keuangan, Menteri BUMN. “Karena ini urusan perdata, nanti kita letakkan sita jaminan,” ujar mantan wartawan Harian Terbit Jakarta ini.
“Saya ingin beri pelajaran, supaya pengusaha SPBU juga merespon. Karena sebenarnya pengusaha SPBU siap-siapsaja. Mereka dihadapkan kepada keadaan sulit bagaimana setiap pelanggan harus membuka dan menggunakan aplikasi.”
Menurut Taufiq, inilah (aturan penggunaan aplikasi ini) sebuah ide yang sarat kepentingan politis dan kepentingan kapitalis dalam rangka nombokin utang-utang BUMN. **