Oleh : Frans Maniagasi, (Pengamat Politik Khusus Papua)
GEGAP gempita Pemekaran wilayah menimbulkan pro- kontra di masyarakat Papua.
Dalil pemekaran menurut Pemerintah dan DPR RI, karena letak geografis, luas wilayah serta isolasi Papua menghendaki kebijakan Pemekaran wilayah atau DOB ( Daerah Otonom Baru), pasca penetapan UU No 2/2021 Perubahan UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua.
Pertanyaannya, apakah tantangan pemekaran atau DOB yang menjadi kekhawatiran dan ketakutan darisebagian kalangan masyarakat Papua.
Penolakan pemekaran wilayah menjadi problematika tatkala dihadapkan pada kekhawatiran dan ketakutan teralienansi dan termarginalisasinya Orang Asli Papua (OAP) dari atas tanah mereka. Kekhawatiran ini sah dan layak dipikirkan dan dipertimbangkan oleh Pemerintah.
Pemekaran tak hanya terkait luas wilayah, kondisi geografis dan “keterisolasian” tapi sejauhmana pemekaran dapat menjamin eksistensi dan keberlanjutan OAP dan nilai nilai lokalnya sebagai satu komunitas sosial dari Negara Indonesia.
Nilai nilai lokal yang dimaksudkan adalah, kehidupan individu dan sosial termasuk relasi sosial tidak tergerus akibat pemekaran, tanah sebagai “mama” ( mother land) dalam perspektif kultural dan antropologis.
Juga ketersediaan lapangan pekerjaan dan kesempatan berusaha, yang menjamin keberlanjutan hidup untuk berproduksi, tatkala tanah mereka digunakan untuk pembangunan fasilitas – fasilitas pemerintah (fasum dan fasos) dan kegiatan ekonomi – bisnis.
Peningkatan kualitas SDM yang trampil, dan adanya “jaminan sosial” dalam arti ketersediaan ruang untuk berinteraksi dan berekspresi diantara sesamanya dan alamnya maupun dengan masyarakat lain tanpa eksploitasi yang kuat terhadap yang lemah.
Mesti ada guarantee terhadap keberlanjutan eksistensi Orang Papua dan nilai–nilai yang terakomodir lewat pembentukan DOB oleh Negara.
Dengan kata lain pemekaran itu mesti didasarkan pada nilai – nilai manusia dan kemanusiaan, sosio kultural, antropologi, ekonomi, politik dan zona ekologi Papua, agar tidak terganggu dari masing masing etnis Papua, seperti termanifestasi dari kata “ PAPUA” ( Perlindungan, Affirmasi, Pemberdayaan, Universal dan Akuntabilitas).
Kekhawatiran pasca DOB akan mengakibatkan hilangnya semangat filosofis dari tujuan pemekaran yaitu kesejahteraan dan menaikan martabat Orang Papua. Disinilah nilai nilai substansi diuji dan menjadi taruhan dibalik kebijakan pemekaran oleh Pemerintah.
Sehingga kebijakan pemekaran dapat disetujui oleh masyarakat Papua tanpa skeptis dan ketakutan tentang eksistensi dan keberlanjutan nilai nilai sosial, kulturalnya, dimasa depan.
Alasan pemekaran Papua menjadi provinsi–provinsi dari perspektif Pemerintah untuk akselarasi pembangunan dan memperluas jangkauan pelayanan birokrasi pemerintahan.
Tapi pada saat yang sama nilai rasionalitas Orang Asli Papua (OAP) untuk memahami nilai–nilainya sendiri pun mesti diberikan ruang untuk mereka berakselarasi. Sehingga pemekaran wilayah tidak mencabut OAP dari nilai – nilainya, secara filosofis paradigmatis dari akar budayanya.
Pengalaman empiris menunjukkan pemekaran wilayah selama ini membawa perubahan yang signifikan terhadap kemajuan fisik, tapi dari aspek nilai orang akan trenyuh dan empati jika melihat fenomena “Orang Papua di Papua tetapi bukan Papua”.
DOB itu seyogyanya tak membelenggu nilai–nilai Orang Papua. Bila tujuan pemekaran untuk mempercepat pembangunan guna mencapai kesejahteraan dan menaikkan martabat Orang Papua maka pemekaran itu mesti menjadi sarana untuk masyarakat Papua kembali menafsirkan nilai nilainya sesuai perkembangan zaman.
Jaminan untuk menafsirkan kembali nilai -nilai Papua itulah yang menjadi kekhawatiran terhadap pemekaran wilayah.
Artinya pemekaran wilayah mesti memberikan harapan (hope) – bahwa Papua adalah tanah harapan, tanah damai, hidup yang lebih layak, sejahtera dan bahagia.
Pemekaran yang hanya fokus pada percepatan pembangunan dan memperpendek rentang kendali pemerintahan (birokrasi) disatu pihak akan memproduksi kemajuan yang progresif tapi dilain pihak pemekaran pun berfungsi dan berperan agar adanya sinergitas terhadap eksistensi dan keberlanjutan dari paradigma nilai lokal.
Sehingga tak memandang nilai lokal sebagai anti pemekaran dan perubahan atau resistensi terhadap pembangunan.
Tatkala kebijakan pemekaran wilayah mengandung sifat agresifitas pembangunan yang bertujuan merubah nilai–nilai lokal bahkan menghilangkannya maka kulminasinya terjadi “perlawanan kultural”.
Perlawanan terjadi dari dua nilai paradigma (pemekaran/ pembangunan) face to face dengan paradigma lokal pada posisi saling menegasikan.
Bukan saja melalui pemekaran pembangunan material, infrastruktur, tapi juga yang dibutuhkan adalah kenyamanan, kedamaian dan kebahagiaan untuk OAP.
Paradigma pembangunan melalui pemekaran DOB dan paradigma nilai lokal membutuhkan jembatan. Artinya bagi masyarakat Papua pemekaran dan nilai lokal mesti diletakkan pada posisi dialektis dimana kedua entitas yang berbeda ini diposisikan saling melengkapi dan bukan sebaliknya.
Pemekaran notabene pembangunan itu mesti diletakkan sebagai sebuah proses refleksi atas sikap dan respon masyarakat terhadap perubahan.
Sedangkan nilai lokal dijadikan katalisator kunci agar pemekaran tidak mengakibatkan teralienansinya Orang Papua dan mereka tercabut dari akar lokalitas masyarakatnya.
Pada posisi itu diperlukan jembatan antara paradigma pemekaran (baca pembangunan) dan paradigma lokal sehingga keduanya saling bersinergi untuk meningkatkan kesejahteraan dan membangun “marwah” masyarakat Papua.
Untuk itu diperlukan upaya yang serius dan sungguh–sungguh mengetahui karakteristik dasar masing–masing entitas sehingga tercipta keselarasan pembangunan yang ditandai dengan sistem birokrasi yang maju dan nilai lokal yang merupakan manifestasi dari pandangan hidup masyarakat Papua.
Artinya karakteristik birokrasi akan menyesuaikan dengan struktur sosial masyarakat lokal. Atau struktur sosial masyarakat yang beradaptasi dengan karakteristik birokrasi.
Pada saat yang sama pemahaman terhadap nilai–nilai lokal yang ada di masyarakat akan memberikan ruang yang luas untuk melakukan re-interpretasi dan revitalisasi terhadap nilai nilai sosial lokal sehingga terbentuk korelasi yang dinamis dan humanis antara pemekaran dan nilai – nilai lokal yang dijadikan penopang utama.
Pemekaran bukan hanya pertimbangan geografis, luas wilayah dan isolasi sosial tapi justru nilai–nilai sosial masyarakat yang menjadi penentu dan penopang utama pemekaran provinsi.
Kalau hal ini yang terjadi terbangunlah apa yang saya sebut pemekaran (pembangunan) telah meletakkan peradaban baru bagi masyarakat Papua.
DOB bukan karena pertimbangan luas wilayah, letak geografis, dan isolasi semata-mata tapi pemekaran yang dilakukan bersumber dari nilai nilai sosio kultural masyarakat Papua berdasarkan kebijakan dan kearifan lokalnya.
Sehingga menjawab apa yang dikonstatir oleh I Ngurah Suryawan (2020) Pemekaran bukan Elite yang mencuri kuasa tapi sebaliknya masyarakatlah yang berkuasa menetapkan pemekaran yang terbaik menurut versinya.
Itulah makna tantangan dibalik ramainya pemekaran wilayah hari ini di Tanah Papua. (**)
Isi tulisan di luar tanggung jawab Redaksi Pewartasatu.