Pemekaran Provinsi Papua atau DOB Bukan Solusi Utama Atasi Kemiskinan dan Keterbelakangan

JAKARTA, Pewartasatu.com — Pemekaran wilayah atau yang lebih dikenal dengan Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua banyak menuai Pro dan Kontra dari masyarakat, politisi dan tokoh masyarakat.

Yang pro DOB menyebutkan bahwa dengan pemekaran wilayah atau DOB bisa meningkatkan taraf hidup masyarakat dan menekan laju kemiskinan.

Sedangkan yang kontra berasumsi bahwa dengan pemekaran wilayah berarti penambahan teritori militer sehingga persoalan pelanggaran HAM di Papua akan semakin meningkat.

Pemerhati Politik Emha Hussein AlPhatani ketika dihadapkan pada dua pernyataan itu mengatakan bahwa kedua pendapat tersebut memiliki kekuatan tersendiri jika dilihat sudut pandang masing-masing.

Pendapat yang menyebutkan bahwa dengan DOB akan meningkatkan taraf hidup dan menekan laju kemiskinan, benar, karena dengan DOB berarti setiap wilayah baru akan memiliki anggaran pembangunan sendiri termasuk di dalamnya dana bantuan bagi hasil pengelolaan tambang di tanah Papua.

“Provinsi baru akan bersaing satu sama lain dalam membangun wilayahnya. Karena keberadaannya di satu pulau, maka pembangunan yang dicapai satu provinsi lain akan menjadi pecut bagi provinsi lain untuk mengejarnya atau bahkan melampauinya,” kata AlPhatani.

Dan jika ditinjau dari segi keamanan, masing-masing provinsi akan berebut untuk menjadi wilayah teraman di pulau Cenderawasih itu.

Sedangkan pendapat yang kontra dengan menyebutkan akan terjadi peningkatan pelanggaran HAM karena banyaknya aparat dan penambahan institusi militer di DOB.

AlPhatani menilai, hal itu sebenarnya bukan mejadi alasan utama tetapi masih bisa diterima mengingat berbagai pelanggaran HAM yang terjadi di Papua belum ditangani secara serius oleh pemerintah.

Mestinya kata dia, sebelum DOB itu diundangkan, pemerintah pusat menggelar dialog dengan para pemangku kepentingan di Papua seperti Musyawarah Rakyat Papua (MRP) dan DPRP, juga lembaga adat di Papua.

Dalam berbagai diskusi mengenai konflik di Papua, kemiskinan dan keterbelakangan kerap menjadi sorotan karena diyakini sebagai salah satu akar masalah mengapa DOB ini harus dilakukan.

Pusat maupun daerah bahkan kalangan elite terkadang terkungkung dalam dimensi berpikir sempit bahwa masalah kemiskinan dipahami sebagai kurangnya pembangunan infrastruktur di Papua.

Sehingga untuk mengatasi masalah itu, DOB diperlukan dan pemerintah tidak segan-segan menggelontorkan triliunan rupiah untuk membangun berbagai macam infrastruktur, seperti jembatan, rumah sakit, bandara, stadion, pos lintas batas negara dan bahkan pelabuhan udara dan laut.

Sebuah asa menggantung di situ . Diharapkan dengan pembangunan ragam sarana ini, ada harapan dapat meningkatkan aktivitas perekonomian di Papua sehingga dapat menekan tingkat kemiskinan dan masyarakat makin sejahtera.

Jika misi itu tercapai, tujuan utama menciptakan perdamaian di tanah Papua pun bakal terwujud.

AlPhatani berpendapat, langkah pemerintah itu belum sepenuhnya bisa diakui kebenarannya.

Asumsi itu nyaris tidak mempertimbangkan akar masalah mengapa konflik di Papua terus berkelanjutan.

Kemiskinan bukan hanya persoalan utama. Ada banyak isu yang menurut para peneliti tidak hanya terkait dengan masalah ekonomi, tetapi juga politik, sosial, hukum, dan budaya.

Sehingga dengan kompleksitas itu, upaya menciptakan perdamaian di Papua tidak lagi hanya mengandalkan kebijakan dan program pembangunan infrastruktur, tetapi mempertimbangkan faktor-faktor lain di luar itu.

Irine Morada Santiago, juru runding perdamaian asal Filipina, pada acara diskusi yang digelar oleh Imparsial di Jakarta, Senin 18 April 2022 lalu mengingatkan banyak pihak salah kaprah saat menyamakan pembangunan sebagai alat mewujudkan perdamaian.

Pembangunan (development) bukan perdamaian, dan perdamaian bukan pembangunan.

Peacebuilding (upaya menciptakan perdamaian), kata Irine, adalah sebuah proses yang bertujuan memperbanyak titik temu (connectors) dan mengurangi pemecah belah (dividers) sehingga pembangunan dapat berlangsung.

Sementara itu, pembangunan adalah proses meningkatkan kapasitas dan mengurangi kerentanan yang dialami masyarakat.

Pembangunan juga harus dipahami sebagai upaya memperluas akses dan memperbanyak pilihan yang dapat diambil oleh masyarakat dalam melanjutkan hidup dan menentukan nasibnya sendiri.

Dalam praktiknya, pembangunan dan upaya menciptakan perdamaian (peacebuilding) sering beririsan. Namun, situasi itu tidak boleh jadi pembenaran bahwa pembangunan adalah satu-satunya jalan untuk mewujudkan perdamaian. (**)

Jimas Putra: