Pengeroyokan Ade Armando Pada Demo 114 Fenomena Kejengkelan Rakyat

Aswan Bayan ( Foto: Ist)

 

Oleh : Aswan Bayan
Pemred Pewartasatu.com

Yang agak aneh adalah soal Ade Armando didepan gedung DPR RI. Insiden pengeroyokan Ade Armando menuai kecurigaan. Ade Armando sengaja diumpan. Bagian dari settingan untuk menutupi aksi murni yang sebenarnya diusung oleh aktivis pro perubahan.

Setidaknya, panggung sandiwara insiden Ade Armando membuat pendukung pro perubahan berpuas hati.

Mirisnya, substansi perjuangan tersisihkan. Pernyataan ini disampaikan pegiat dakwah dan sosial Tarmidzi Yusuf dalam tulisan berjudul Tertipu Oleh Aksi Demo 114.

Apapun spekulasi kelompok masyarakat soal insiden Ade Armando tapi yang pasti dia adalah korban yang berdarah-darah, diseret seperti penjahat dan ditelanjangi oleh sekelompok orang yang ikut dalam aksi demo BEM SI di depan gedung DPR RI.

Selain korban fisik, korban psikologi dan korban harga diri sebagai kaum intelektual. Bisa dibayangkan videonya viral laksana tsunami sehingga tidak ada yang bisa menghalanginya. Anak dan istrinya pasti sangat terpukul, saudaranya, teman dan sahabatnya pun pasti merasakan kepedihan yang sangat mendalam.

Pelajaran yang bisa kita ambil dari peristiwa Ade Armando adalah fenomena kejengkelan masyarakat terhadap seseorang yang dianggap kebal hukum.

Masyarakat sangat jengkel terhadap orang-orang yang membuat pernyataan yang kontroversial sehingga menimbulkan kegaduhan di masyarakat tapi hukum seolah tidak berdaya.

Maka yang terjadi adalah masyarakat mencari momentum yang tepat untuk menumpahkan kejengkelannya walaupun dengan cara melawan hukum.

Memberikan dukungan kepada pemimpin adalah kewajiban sebagai warga negara. Perbedaan pandangan adalah sebuah keniscayaan dalam alam demokrasi.

Yang tidak wajar adalah membuat pernyataan yang kontroversial yang sesungguhnya bukan ruang dan wilayahnya.

Sikap dan pernyataan yang memecah belah persatuan dan kesatuan. Menuduh tanpa dasar dan fakta kelompok masyarakat yang berbeda pandangan.

Keadaan seperti ini menyebabkan fenomena kejengkelan di masyarakat tumbuh subur.

Yang paling sering dimunculkan istilah intoleran, radikal, tidak pancasilais dan tidak kebhinekaan oleh kelompok pegiat media sosial dengan predikat buzzeRp, seolah mereka paling benar sendiri.

Mereka yang menggaungkan istilah-istilah seperti ini sesungguhnya mereka tidak faham. Mereka adalah provokator memecah belah persatuan dan kesatuan anak bangsa. Ketika mereka memaksakan kehendaknya sesungguhnya mereka tidak toleransi.

Bagaimana mereka faham kebhinekaan pada saat yang sama mereka membuat istilah kadrun terhadap saudara yang keturunan Arab.

Bagaimana faham pancasila pada saat yang sama menyampaikan statemen anak anak pesantren calon teroris.

BuzzeRp otaknya pada rusak. Belajarlah dari insiden Ade Armando betapa ada kelompok masyarakat yang muak dan jengkel dengan sepak terjang pegiat media sosial buzzerRp itu.

Tidak ada alasan untuk membenarkan tindakan kekerasan kepada siapapun sehingga diharapkan sisa waktu pemerintahan Presiden Joko Widodo mengajak semua elemen bangsa untuk rekonsiliasi nasional secara masif untuk membangun bangsa ini supaya lebih maju dengan masyarakat yang adil, makmur dan berperadaban. (**)

Maulina Lestari: