Business

Perlunya pembenahan tata niaga impor pangan

201402170028

Jakarta – Tidak banyak diketahui oleh masyarakat luas, sebenarnya Ombudsman pada 4 Februari lalu telah mengeluarkan peringatan dini kepada pemerintah terhadap tata kelola implementasi kebijakan yang berkaitan dengan empat komoditas pangan.

Empat komoditas pangan yang dimaksud yaitu beras, gula, garam, dan jagung.

"Peringatan dini yang kami sampaikan kepada pemerintah ini kami buat secara terbuka agar berbagai pihak bisa mengawasi administrasi impor dari empat komoditas pangan ini," kata Anggota Ombudsman RI, Ahmad Alamsyah Saragih, dalam konferensi pers di Kantor Ombudsman RI, Jakarta, kala itu.

Menurut Alamsyah Saragih, penyampaian peringatan dini secara terbuka ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya maladministrasi berulang akibat melemahnya intensitas perhatian para pihak terkait khususnya terkait dengan tahun politik seperti sekarang ini.

Ia mengingatkan bahwa impor komoditas pangan dalam empat tahun terakhir masih memainkan peranan penting dalam perekonomian nasional. Ombudsman melakukan pengawasan perkembangan impor komoditas pangan untuk melihat persoalan dan mencegah maladministrasi.

Sehubungan dengan beras, Ombudsman menyarankan agar pemerintah segera membentuk kerangka kebijakan sisa cadangan untuk perbaikan manajemen stok sebelum mengambil langkah ekspor beras.

Alamsyah juga menuturkan pentingnya melakukan klasifikasi stok dan mengutamakan pemanfaatan stok berkualitas agar operasi pasar cukup efektif untuk mengatasi kenaikan harga akibat penerapan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) 80 persen, dan bukan berprioritas kepada ekspor.

Sementara terkait gula, Ombudsman mengeluarkan peringatan dini untuk mengantisipasi perkembangan jangka pendek atau tiga bulan ke depan, disarankan agar diperketat proses verifikasi kebutuhan dan stok gula impor untuk industri, segera menetapkan hasil perhitungan neraca gula nasional, dan mengevaluasi penerapan SNI bagi gula petani.

Sehubungan dengan garam, ujar Alamsyah, pihaknya menyarankan untuk memperketat proses verifikasi kebutuhan garam impor untuk industri, mempercepat proses perhitungan stok garam produksi lokal, serta segera menetapkan hasil perhitungan neraca garam.

Sedangkan terkait jagung, Ombudsman menyarankan dilakukan evaluasi cepat dan memperketat proses verifikasi kebutuhan impor jagung, serta mempersiapkan stok pemerintah untuk mengatasi kelangkaan pasokan jagung pakan bagi peternak.

Data pangan

Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi Hertanti dalam sejumlah kesempatan juga telah meminta pemerintah memastikan data pangan benar-benar akurat terlebih dahulu sebelum mengimpor komoditas pangan.

"Bagi kami, soal kebijakan impor di sektor pertanian ini akan terus menjadi polemik jika persoalan mendasar mengenai data produksi dan konsumsi belum dapat diselesaikan. Padahal, itu yang menjadi dasar penetapan dari kebutuhan impor," kata Rachmi.

Rachmi mengharapkan pemerintah jangan berspekulasi dalam menetapkan kebutuhan impor, serta mengingatkan esensi kebijakan impor, khususnya produk pertanian, hanya bisa dilakukan apabila produksi dalam negeri tidak dapat memenuhi kebutuhan.

Untuk itu, pemerintah mesti membuka data-data ketersedian produksi dalam negeri dulu kepada publik sebelum melakukan impor.

Pemerintah juga diharapkan dapat segera membenahi tata niaga impor pangan nasional, terutama karena ada temuan BPK tahun 2018 yang mengindikasikan adanya sengkarut terkait dengan tata niaga impor pangan, ucap Rachmi.

Menurut Rachmi Hertanti, hasil pemeriksaan BPK menemukan sebanyak sembilan kesalahan, di mana permasalahan itu antara lain persetujuan impor tanpa pembahasan di rapat koordinasi antar kementerian, tidak kuat dalam menganalisis kebutuhan, hingga lemahnya pengawasan terhadap realisasi impor.

Selain itu, ujar dia, persoalan agenda pembangunan infrastruktur yang dipilih juga telah berdampak terhadap sektor pangan. Aktivitas investasi di Indonesia guna meningkatkan daya saing Indonesia dikatakan telah berkontribusi pula terhadap hilangnya akses petani terhadap sumber daya ekonominya.

"Bahkan, penguasaan lahan ke tangan korporasi pun meningkat yang kemudian berbanding terbalik dengan penguasaan lahan bagi petani," katanya.

Di sisi yang lain, menurut dia, juga terjadi penurunan jumlah penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian sebesar 3,52 juta orang. Pada 2016, angka tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian sebesar 39,22 juta orang, dibandingkan dengan tahun 2018 hanya sebesar 35,70 juta orang.

Dari segi pendapatan, lanjutnya, rata-rata upah di sektor pertanian masih memiliki nilai upah di bawah rata-rata upah nasional 2018, yakni sebesar 1,76 juta. Bahkan, data BPS juga menunjukan bahwa petani lokal 88,27 persen adalah pekerja informal.

Apalagi, Direktur Eksekutif IGJ itu juga mengingatkan bahwa dalam debat capres putaran kedua lalu, kedua calon presiden memperlihatkan strategi yang jitu dalam mengatasi impor pangan.

Rachmi berpendapat bahwa persoalan impor pangan tidak dilihat dari sumber-sumber produksinya, tetapi hanya dilihat dari sisi hilir.

Dengan demikian, lanjutnya, belum ada dari para capres yang dapat memaparkan strategi tersistematis bagaimana membangun pertanian dan sektor pangan dari hulu ke hilir.

Harga stabil

Sementara itu, pengamat politik dari Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin, mengatakan bahwa tidak ada negara yang tidak mengeluarkan kebijakan impor, asalkan harga pangan tetap stabil.

"Tidak ada negara di dunia ini yang tidak impor. Dan yang paling penting adalah pemerintah bisa menjaga kestabilan harga pangan," kata Ujang.

Ujang menjelaskan bahwa negara harus hadir dengan pemerintah memastikan bahwa harga pangan stabil dan tidak dimainkan oleh mafia pangan.

Hal tersebut, lanjutnya, karena stabil atau tidaknya negara juga bisa dilihat dari kebijakannya dalam menjaga stabilitas harga pangan.

Menurut dia, harga pangan yang ada saat ini cukup stabil, karena dapat terlihat bahwa bila harga pangan tidak stabil pasti sudah akan menggerus elektabilitas dari kubu petahana.

Namun karena harga pangan masih stabil, ucapnya, maka elektabilitas Presiden Jokowi juga masih stabil pada saat ini.

Tuntas tanpa impor

Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KPRP) Said Abdullah menilai kerawanan pangan sebenarnya bisa dituntaskan tanpa melakukan kebijakan impor.

"Menurut saya, bisa (tanpa impor) dengan syarat jika pola konsumsi pangan dikembangkan tidak hanya terfokus kepada komoditas tertentu," kata Said.

Selain itu, ujar dia, syarat lainnya agar kerawanan pangan dapat dituntaskan tanpa impor adalah adanya peta jalan yang jelas dan terkoordinasi lintas kementerian dan lembaga, serta adanya kebijakan dan implementasi program yang kuat dalam mengamankan lahan pertanian.

Ia juga menekankan pentingnya kebijakan yang kuat mulai dari hulu hingga hilir yang mampu memberikan nilai tambah optimal bagi petani.

Hal tersebut, lanjut Said karena selama ini kebijakan dan program lebih banyak dilakukan di sisi hulu, seperti penyediaan benih dan mekanisasi alat pertanian.

Sementara di sisi hilir, menurut dia, semisal jaminan harga tidak ada sehingga insentif bagi petani untuk berproduksi lebih banyak nyaris tidak ada.

Koordinator KPRP juga mengemukakan hal lain yang esensial adalah adanya kebijakan pengendalian tarif impor yang mampu mendorong kompetisi produk lokal dengan impor.

Said mengingatkan bahwa Indonesia sudah meratifikasi Kovenan Ekosob PBB yang di dalamnya termasuk hak atas pangan, sehingga berarti negara punya kewajiban memenuhi hak atas pangan masyarakat tanpa kecuali.

Ia juga menegaskan bahwa ke depannya, presiden yang terpilih sudah semestinya membuat program dan kebijakan terkait pangan dan pertanian, harus benar-benar memastikan hak atas pangan setiap individu terpenuhi, serta tidak hanya asal klaim dan mengumumkan bahwa produksi pangan tercapai.

Baca juga: Pemerintah perlu benahi sengkarut tata niaga impor pangan

Baca juga: Kemendag fasilitasi Bulog serap jagung impor

 

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Zita Meirina
COPYRIGHT © ANTARA 2019

Leave a Comment