Politik

Polri Tercoreng Kasus Laskar FPI, Arbab: KPK Masih Punya Utang Soal Harun Massiku

JAKARTA, Pewartasatu.com– Dalam penegakan hukum, tahun ini yang dalam perhitungan kalender China disebut sebagai Tahun Tikus Logam memang masih jauh dari harapan masyarakat pencari keadilan. Namun, kita boleh sedikit memberikan apresiasi kepada Mabes Polri yang menunjukkan asas Equality before the Love atau semua orang sama di depan hukum.

Ya, tidak tanggung-tanggung, Mabes Polri menetapkan dua jenderal polisi sebagai tersangka dalam rentetan kasus terkait dengan pelarian buronan Djoko Chandra. Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri telah menetapkan Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte dan Brigadir Jenderal (Brigjen) Prasetijo Utomo sebagai tersangka penghapusan red notice, dan surat jalan Djoko Tjandra.

Bareskrim Polri menduga, kedua jenderal tersebut menerima suap terkait pengurusan surat jalan dan red notice Djoko Chandra. Yang harus menerima ketegasan Mabes Polri itu. “Ini luar biasa karena dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia karena sepertinya baru kali ini kepolisian menetapkan anggotanya yang notabene adalah perwira tinggi sebagai tersangka. Dan, saat ini kasusnya sudah sampai di meja hijau,” kata praktisi hukum, Arbab Pabroeka kepada Pewartasatu.com, Rabu (30/12).

Tidak berhenti disitu, lanjut anggota Komisi III DPR RI 2004-2009 tersebut, Jaksa Pinangki Sirna Malasari juga menjadi tersangka. Bahkan Bareskrim Polri menetapkan penasihat hukum Djoko Tjandra alias, Anita Dewi Kolopaking menjadi pesakitan karena diduga membantu pelarian DPO dan menghalang-halangi tim penyidik dalam melakukan penegakan hukum.

“Itu sungguh memberikan satu sinyal yang sangat positif bahwa benar-benar Mabes Polri memperlihatkan kesungguhan kepada masyarakat, dalam penegakan hukum mereka tidak main-main. Siapa pun yang terlibat dalam masalah hukum, Mabes Polri tidak pandang bulu, sekalipun seorang jenderal aktif,” kata Arbab.

Namun, ungkap Arbab, sayang sekali catatan awal yang baik mengenai kepolisian ini harus berujung di akhir 2020 tersebut dengan kelam akibat dari terbunuhnya enam anggota Laskar FPI yang tidak perlu didiskusikan lagi siapa yang melakukan itu karena Kapolda Metro Jaya sudah mengakui mereka yang melakukan ini walau itu dengan argumentasi ada perlawanan dari pihak anggota Laskar FPI sehingga terjadi tembak menembak.

Kini yang tersisa adalah pada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) semoga mereka bisa cepat merampungkan kesimpulan terkait dengan penyelidikan yang dilakukan komisi ini sebab publik hampir berkesimpulan sendiri, berdasarkan fakta-fakta yang sudah diumumkan. Publik berkesimpulan, ada pembunuhan di luar proses hukum terhadap enam anggota Laskar FPI itu.

Terkait dengan nama Habib Rizieq siap penetapan tersangka hari ini, sebenarnya, kata Arbab, saya tidak ingin mengatakan, itu apakah mereka punya kewenangan. Dan, tidak cuma yang terlihat di publik, penegakan hukum ini berjalan by order. Soalnya, ada juga keramaian yang sama di banyak tempat, termasuk pada saat rentetan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) kemarin.

“Itu malah tidak ada yang diproses. Dan, juga tidak ada upaya dari pihak kepolisian untuk memanggil apalagi mentersangkakan penyelenggara Pilkada misalnya. Kalau itu terkait dengan misalnya kerumunan akibat dari perkawinan, saya kira juga banyak. Di mana-mana juga ada perkawinan, tapi biasa-biasa saja. Tidak ada proses hukum terkait dengan itu,” kata pengacara senior ini.

Karenanya, lanjut Arbab, sulit dihindari bahwa penetapan tersangka Habib Rizieq Shihab itu lebih bernuansa, politik dan ketidaksukaan penguasa terhadap aktivitas dakwah beliau. “Yang namanya dalam rangka amar makruf makruf nahi mungkar, beliau cukup keras untuk menyuarakan apa yang beliau ingin sampaikan terkait dengan berbagai penyimpangan, ketidakadilan, perlakuan yang tidak sama oleh aparat penegak hukum terhadap warga oleh pemerintah atau negara.”

Ke depan, mudah-mudahan kepolisian bisa lebih baik dan hati-hati dalam mempersoalkan hal-hal yang oleh publik bisa memberikan penilaian terkait dengan perbedaan perlakuan. Jadi, wajar saja kalau Gubernur Jawa Barat mengemukakan bahwa semua itu berawal dari kelonggaran Pemerintah yang dilakukan Menteri koordinator Politik, Hukum, Keamanan (Menkopolhukam), Prof Dr Mahfud MD pada saat Habib Rizieq Shihab datang dari Arab Saudi.

“Saya rasa apa yang dikatakan Gubernur Jawa Barat tersebut sangat tepat. Kalau masalahnya adalah pada soal kemurumunan, harusnya Mahfud MD yang dimintai keterangan terkait dengan apa yang beliau telah sampaikan. Beliau memberikan lampu hijau kepada publik untuk datang menjemput Habib Rizieg.”

Lalu, lanjut Arbab, kalau yang datang dalam jumlah yang begitu banyak, ini yang dijadikan sebagai dasar hukumnya, kenapa pada saat yang lain melakukan tidak dikatakan melanggar hukum. “Itu persoalan. Jadi, yang terlihat di publik adalah ada perbedaan perlakuan terhadap warga negara. Untuk hal-hal yang sama diperlakukan secara berbeda,” jelas dia.

Terkait dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), lanjut Arbab, juga bolehlah diberi apresiasi. Walau awal-awal perubahan undang-undang KPK disahkan, publik menilai KPK teramputasi kewenangannya tetapi dengan dua menteri ditetapkan sebagai tersangka oleh lembaga anti rusuah ini, bolehlah Pak Firli Bahuri dan teman-teman kita anggap sungguh-sungguh melakukapemberantasan korupsi.

“Kita harapkan tentu tidak sampai disitu, ke depan bisa lebih baik lagi dalam menjalankan apa menjadi kewenangan kewenangan dan tanpa terpengaruh penguasa. “KPK diharapkan masyarakat, tidak hanya mengusut sampai ke batas kedua menteri itu saja, tetapi juga melakukan penyidikan dan penyelidikan lebih dalam lagi. Jangan puas hanya sebatas Edhy Prabowo dan Julian Peter Batubara saja,” pinta Arbab.

Malah Arbab mengatakan, tahun depan ada tantangan tersendiri buat KPK, terutama terkait dengan penetapan tersangka menteri sosial karena sebagaimana pemberitaan Tempo, ada dugaan kuat berdasarkan investigasi yang dilakukan keterlibatan pimpinan DPR dalam hal ini Puan Maharani dan anak tertua Presiden Joko Widodo, Gibran.

Putra sulung Presiden Jokowi ini Gibran menurut pemberitaan Tempo terindikasi ada dalam arus korupsi dana bantuan sosial tersebut. Ini sesuatu yang barangkali terkait dengan juga soal pembuktian. “Tetapi saya yakin, Tempo tidak main-main dalam hal memberitakan sesuatu yang terkait dengan korupsi di departemen sosial tersebut.”

Selain itu, KPK tentunya juga punya utang yang harusnya mereka selesaikan terkait dengan soal Harun Massiku, tersangka kasus suap dimana sampai saat ini politisi PDI Perjuangan tersebut belum juga tertangkap. “Ya, itu juga sesuatu yang masih lengket diingatan publik bahwa apa pun juga yang mereka lakukan tanpa mampu menangkap Harun Masiku, kerja KPK dinilai publik gagal.”

Bahkan, lanjut Arbab, bila Harun Masiku tidak tertangkap, ada kesan kuat, boleh jadi kalau orang-orang yang terkait dengan dengan itu termasuk PDI Perjuangan ada dibalik itu semua. “Ini semua bukan pekerjaan ringan. Namun, rakyat menuntut dan hanya bisa berharap kepada KPK dalam pemberantasan korupsi ini karena sampai saat ini publik belum percaya dengan intitusi penegakj hukum selain KPK. Semoga,” demikian Arbab Pabroeka. (fandy)

Leave a Comment