RUU TPKS Perkuat Mekanisme Pelaporan Korban

JAKARTA, Pewartasatu.com  – Pemerintah Republik Indonesia berkomitmen untuk hadir dan melindungi seluruh warga negaranya, termasuk perempuan dan anak dari segala bentuk kekerasan. salah satunya kekerasan seksual.

Dalam Rapat Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS), Badan Legislasi dan Pemerintah telah sepakat mekanisme pelaporan korban akan diperkuat dan diperluas melalui berbagai lembaga pelayanan, termasuk lembaga pelayanan berbasis masyarakat.

Kita tahu bahwa di dalam pelaksanaan sehari-hari, lembaga pelayanan berbasis masyarakat bekerja dengan sangat luar biasa. Jadi, dalam DIM Pemerintah selain menyebutkan pelaporan melalui lembaga yang dikelola oleh Pemerintah, seperti Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA), UPTD di bidang sosial, maupun kepolisian,.

“Di sisi lain kami juga mengapresiasi kerja teman-teman di lembaga berbasis masyarakat,” ujar Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan KemenPPPA, Ratna Susianawati, dalam Rapat Panitia Kerja RUU TPKS, di Jakarta, Kamis (31/3).

Dalam Rapat Panitia Kerja RUU TPKS juga telah disepakati, UPTD PPA, UPT dan UPTD di bidang sosial, serta Lembaga Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat yang menerima pelaporan terkait kekerasan seksual wajib memberikan pendampingan dan pelayanan terpadu yang dibutuhkan korban, termasuk pelaporan ke pihak kepolisian.

Namun demikian, kepolisian akan melakukan konseling dan asesmen terhadap kebutuhan korban, kemudian korban berhak menentukan pilihannya untuk mengajukan ataupun tidak mengajukan pelaporan.

Rapat Panitia Kerja RUU TPKS telah memasuki pembahasan hari keempat pada Kamis (31/3). Selain membahas mengenai mekanisme pelaporan, dalam Rapat Panitia Kerja RUU TPKS juga dilakukan diskusi produktif terkait restitusi, pemeriksaan saksi, penyidikan, penuntutan, hingga pemeriksaan di ruang sidang.

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Edward Omar Sharif Hiariej atau yang kerap disapa Eddy mengatakan, Pemerintah mengusulkan adanya penyitaan harta kekayaan pelaku sebagai jaminan restitusi atas izin pengadilan negeri. “Hal ini guna menghindari adanya pengalihan harta kekayaan oleh pelaku,” ujar Eddy.

Pemerintah memahami concern Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia agar hukum bersifat adil dan tidak hanya dirasakan berat oleh pelaku miskin, tetapi ringan bagi pelaku berpunya.

Untuk itu akan dipertimbangkan kembali perumusan beberapa pasalnya. Pemerintah juga mengakomodasi victim trust fund atau dana bantuan korban cara memastikan hak restitusi korban, apabila pelaku atau pihak ketiga tidak mampu membayar restitusi sebagaimana yang telah diputuskan oleh pengadilan.

Menurut Eddy, hal ini disebutkan dalam dua ayat RUU TPKS, khususnya sebagai substansi baru DIM Pemerintah. “Secara teknis akan diatur lebih rinci dalam Peraturan Pemerintah,” imbuh Eddy.

Sementara itu, untuk memberikan efek jera dan mencegah terjadinya kasus lainnya, pelaku akan dikenai ancaman pidana penjara pengganti yang tidak melebihi ancaman pidana pokok apabila harta kekayaan terpidana tidak mencukupi pembayaran restitusi.

Selanjutnya, sebagai upaya mempercepat pembahasan DIM dan pengesahan RUU TPKS, Badan Legislasi bersama dengan Pemerintah akan kembali melakukan diskusi melalui Rapat Panitia Kerja pada Jumat (1/4) dan Sabtu (2/4).(Maulina)

Maulina Lestari: