SETARA Institute Berharap Polri Terapkan Restorative Justice pada RG

Demo atau unjuk rasa di mana-mana sebagai reaksi atas kritikan RG kepada Presiden yang menggunakan diksi ”Bajingan Tolol’.//foto: www.itb-ad.ac.id

JAKARTA. Pewartasatu.com – Kritik atas kebijakan negara di bawah kepemimpinan Jokowi yang disampaikan Rocky Gerung telah memantik 13 laporan kepolisian dan demonstrasi artifisial di beberapa tempat.

Di tengah kohesi sosial yang segregatif, pro dan kontra atas pernyataan RG sangat mungkin terjadi dan sangat mungkin sengaja dibuat, sehingga terjadi keonaran.

Demikian pernyataan yang dilontarkan SETARA Institute melalui Siaran Persnya yang dikutip Pewartasatu.com, Selasa (8/8).

Pernyataan yang ditandatangani peneliti hukum dan konstitusi Sayyidatul Insiyah, dan Peneliti Senior Ismail Hasani, keduanya dari SETARA Institute itu menyebut, kualitas demokrasi dan keadaban publik yang semakin ringkih telah memungkinkan pernyataan RG menjadi kapital politik bagi conflict entrepreneur dan avonturir politik.

Tujuannya tak lain, untuk memainkannya secara terbuka guna menunjukkan prestasi semu pada patron politiknya, dan memetik insentif politik elektoral pihak manapun yang berkontes.

Membaca dinamika respons publik atas RG, sangat kuat bahwa kasus ini sesungguhnya merupakan bentuk pelintiran kebencian atas RG.

“Substansi kritik RG sesungguhnya mewakili aspirasi publik yang selama ini tersumbat atau disumbat. Kemarahan dan keonaran artifisial yang saat ini mengemuka nyatanya hanya ditunjukkan oleh kelompok relawan dan pegiat demonstrasi musiman,” tulis Sayyidatul Insiyah.

”Sebagian besar masyarakat lebih berfokus pada substansi, sekalipun menyayangkan pilihan diksi RG,” demikian pernyataan itu.

Menurut SETARA, RG hari ini menjadi korban pelintiran  kebencian (hate spin), gabungan  konsep hate speech (ujaran kebencian) dengan kemarahan, setelah pernyataan RG direspons secara berjarak dengan jeda waktu dari peristiwa dan orkestrasi struktural.

Dari pada repot mencari-cari delik pidana untuk menjerat RG, jika memang tidak bisa mengabaikan berbagai pelaporan warga dan relawan Jokowi, Polri bisa mengambil langkah moderat, dengan menerapkan restorative justice sekaligus memainkan peran dialog dengan pihak-pihak yang berkeberatan.

Polri bisa menjadi jembatan demokrarik untuk tetap menjaga ruang publik tetap sehat dan demokratis. Sekaligus memutus praktik berulang tuduhan pembungkaman dengan menggunakan instrumen hukum, demikian SETARA Institut.**

 

Brilliansyah: