JAKARTA, PEWARTASATU.COM – Masih banyak anak yang mengalami kekerasan, eksploitasi, hingga stigmatisasi, dan perlakuan salah. Seperti Kasus meninggalnya anak laki-laki berusia 9 tahun di Kecamatan Bireum Bayeun Aceh Timur, akibat mengalami kekerasan saat berusaha melindungi ibu kandungnya yang akan dirudapaksa pelaku, SB (41).
Peristiwa seperti ini sangat menyayat hati, belum lagi maraknya kasus kekerasan lainnya yang menjerat anak di beberapa daerah. Untuk menindaktegas hal ini, para pelaku dapat dikenakan hukuman sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dimana untuk kasus kejahatan seksual terhadap anak khususnya persetubuhan dan pencabulan, hukumannya dapat diperberat sesuai UU Nomor 17 tahun 2016.
Banyaknya persoalan yang mengancam 80 juta anak Indonesia, masih menjadi pekerjaan rumah bagi seluruh pihak dalam melindungi dan memenuhi hak-hak anak. Oleh karena itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menyelenggarakan rangkaian Pelatihan Konvensi Hak Anak (KHA) dan Manajemen Kasus bagi Sumber Daya Manusia (SDM) Penyedia Layanan Perlindungan Anak. Pelatihan ini bertujuan untuk memperkaya pengetahuan, keterampilan, dan sensitifitas mereka dalam menangani kasus anak, sehingga upaya perlindungan dan pemenuhan hak anak yang memerlukan perlindungan khusus (AMPK) dapat berjalan optimal.
“Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) Kemen PPPA pada 2 Oktober 2020, terdapat sebanyak 6.051 kasus kekerasan terhadap anak, dengan jumlah korban anak laki-laki sebanyak 1.929 dan anak perempuan sebanyak 4.762. Data ini baru yang terlaporkan saja, masih banyak kasus kekerasan lainnya yang mungkin dialami anak tanpa kita ketahui. Untuk menangani hal ini, diperlukan upaya perlindungan anak yang holistik agar anak dapat terlindungi baik secara fisik dan mental, salah satunya dengan memperkuat koordinasi lintas sektor melalui penyediaan layanan yang ramah anak dan berbasis hak anak,” ungkap Deputi Bidang perlindungan Anak, Nahar dalam sambutannya pada Pelatihan Konvensi Hak Anak (KHA) dan Manajemen Kasus bagi Sumber Daya Manusia (SDM) Penyedia Layanan Perlindungan Anak yang dilaksanakan secara offline dan online (16/10).
Salah satu upaya Kemen PPPA dalam memberikan layanan bagi perempuan dan anak yang mengalami kekerasan, diskriminasi, perlindungan khusus dan perlakuan salah lainnya di Indonesia adalah membentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA). Hal ini dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri PPPA Nomor 4 Tahun 2018. Kemen PPPA juga bertanggung jawab untuk memperkuat dan mengembangkan layanan UPTD PPA di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Hingga saat ini, UPTD PPA sudah terbentuk di 28 Provinsi dan 70 Kabupaten/Kota di Indonesia.
Nahar menjelaskan pada prakteknya, UPTD PPA dalam menangani kasus anak, baik anak sebagai korban, pelaku, maupun saksi, tidak bisa berperan sendiri. “Dalam menangani kasus tentu para pemberi layanan akan bersinggungan dengan Aparat Penegak Hukum (APH), mulai dari proses penyidikan hingga persidangan. Untuk itu, dibutuhkan kesamaan persepsi antara APH dan petugas UPTD PPA saat menangani kasus bersama, sehingga kasus dapat diselesaikan dengan mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak, baik sebagai korban, pelaku ataupun saksi,” tambah Nahar.
Saat ini, Kemen PPPA telah menyusun desain rencana strategis Penurunan Kekerasan Terhadap Anak tahun 2020-2030. Rencana strategis ini memprioritaskan aksi pencegahan kekerasan pada anak dengan melibatkan keluarga, sekolah, dan masyarakat; memperbaiki sistem pelaporan dan layanan pengaduan kasus kekerasan pada anak; dan melakukan reformasi besar-besaran pada manajemen penanganan kasus kekerasan pada anak agar bisa dilakukan dengan cepat, terintegrasi, dan komprehensif.
Pakar Anak, Hamid Patilima menjelaskan secara rinci terkait Konvensi Hak Anak (KHA). KHA merupakan instrumen Internasional yang diratifikasi Indonesia sejak 1990, dan terbagi menjadi 8 (delapan) kluster, yaitu langkah implementasi, definisi, prinsip, hak sipil dan kebebasan, lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif, kesehatan dasar dan kesejahteraan, pendidikan, pemanfaatan waktu luang, budaya, dan rekreasi, dan perlindungan khusus.
Pada 5 Oktober 1990, KHA telah diimplementasikan di Indonesia, kemudian dikembangkan menjadi berbagai peraturan tentang perlindungan khusus anak yang berkaitan dengan pasal-pasal dalam KHA yaitu pasal 19 (perlindungan anak dari kekerasan), pasal 32 (pekerja anak), pasal 33 (anak dan penyalahgunaan napza), pasal 34 (eksploitasi seksual anak), pasal 35 (perdagangan anak), dan pasal 36 (eksploitasi bentuk lainnya).
“Peran seluruh pihak, baik anak, orangtua, keluarga, masyarakat, dunia usaha, hingga media massa sangatlah penting untuk memahami dan mengimplementasikan pasal-pasal tersebut dalam menyelenggarakan perlindungan anak. Kami juga berharap kepada peserta yang telah mendapatkan informasi terkait KHA, dapat melakukan penguatan kapasitas di K/L atau daerah masing-masing, minimal menginfokan kepada keluarga atau orang di sekitar kita,” ujar Hamid.
Di samping itu, Pekerja Sosial dari Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung, Ellya Susilowati mengungkapkan KHA memiliki kluster-kluster yang mengatur berbagai hak anak, seperti hak bagi anak disabilitas, hak anak atas layanan kesehatan dan standar kesehatan, hak pendidikan, hak standar hidup yang layak, hak atas waktu luang, rekreasi dan budaya, hak perlindungan khusus anak, hak peradilan anak dan lainnya. Ellya juga menyampaikan pentingnya memberi ruang bagi partisipasi anak sebagai salah satu prinsip hak anak dalam KHA.
“Kita harus mendengarkan suara anak, memiliki perspektif bekerja dengan anak, melindungi, menghargai, dan menghormati anak. Partisipasi anak dapat berjalan optimal jika didukung dengan hadirnya lingkungan yang ramah anak, yaitu lingkungan yang aman, nyaman dan membuat anak terlindungi dari segala bentuk kekerasan, eksploitasi, dan perlakuan salah,” jelas Ellya
Di sisi lain, Fasilitator Pelatihan dari Yayasan Sayangi Tunas Cilik (YSTC), Rendiansyah Dinata menuturkan Kemen PPPA bekerjasama dengan YSTC telah melakukan upaya penguatan kapasitas para penyedia layanan perlindungan anak dalam manajemen penanganan kasus, seperti petugas UPTD PPA dan APH yang terdiri dari pihak kepolisian, kejaksaan, serta kehakiman. Di antaranya melalui metode pembelajaran manajemen kasus secara daring bagi pekerja sosial dan pendamping.
“Masa pandemi ini, telah menuntut kita untuk berkreasi, kita harus memodifikasi pembelajaran penanganan kasus dengan 2 (dua) metode, yaitu secara tatap muka melalui seminar virtual, dan secara mandiri melalui E-learning yang bisa dikerjakan kapanpun dan dimanapun, hingga bisa dipraktekan dan di implementasikan di lapangan,” ungkap Rendiansyah.(Maulina)