Featured Hukum

Gugatan Soal Batas Usia Capres/Cawapres Harus Dilawan, Begini Kata Denny

Prof DR Denny Indrayana bersama Menko Polhukam Mahfud MD./sultra.tribunnews.com

JAKARTA. Pewartasatu.com — Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Prof DR Denny Indrayana, berpendapat gugatan uji materil yang dilayangkan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) ke Mahkamah Konstitusi (MK) soal syarat minimal usia calon presiden-calon wakil presiden yang diatur di UU Pemilu sangat salah, dan karenanya harus dilawan.

“Secara teks dan konteks konstitusionalisme, kalau ditanya apakah salah ikhtiar mengubah syarat umur capres-cawapres melalui putusan MK, jawaban saya dengan tegas dan lantang adalah sangat salah dan harus dilawan!” cuit Denny melalui akun Twitter-nya Selasa (25/7).

“Saya sudah pernah memberikan postingan, bagaimana putusan MK soal uji materi syarat minimal umur capres-cawapres ini menjadi penting untuk dicermati,” tulis Denny.

Pernyataan ini dia sampaikan bertalian dengan isu Wali Kota Solo yang juga putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, didukung maju jadi cawapres meskipun usianya belum cukup, sebagaimana tuntutan undang-undang. “Sejumlah survei pun menyatakan elektabilitas Gibran merangkak naik,” tulis Denny.

Dia menyebut, PSI menjadi salah satu pemohon agar syarat umur minimal capres/cawapres 40 tahun di UU Pemilu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, dan karenanya mesti diturunkan menjadi 35 tahun.

Dalam pandangannya dari sisi hukum tata negara, Denny mengatakan mudah dipahami, penurunan umur itu, bukan semata isu hukum, bukan semata soal memperjuangkan hak orang muda, tetapi di baliknya ada intrik politik untuk membuka peluang Gibran Jokowi masuk ke dalam gelanggang Pilpres 2024.

“Salahkah ikhtiar itu?,” Tanyanya lanjut, yang dijawab sendiri, “Gugatan itu sangat salah secara konstitusi.

Menurut Denny, Secara teori konstitusi dan tata negara, mudah disampaikan bahwa soal umur, tidak ada kaitannya dengan konstitusionalitas (bertentangan atau tidak dengan UUD).

“Soal umur, karenanya adalah open legal policy, artinya menjadi kewenangan pembuat undang-undang untuk menentukannya dalam proses legislasi (parlemen), bukan kewenangan MK untuk menentukan batas umur capres-cawapres melalui proses ajudikasi (peradilan).”

Karena itu, kalaupun misalnya PSI dianggap punya legal standing sekalipun, permohonan semestinya ditolak

Di sisi lain, Denny juga menyebut persoalan hukum di Indonesia seringkali rumit, karena faktor non-hukum, termasuk faktor intrik politik.

Memahami hukum Indonesia, menurut dia tidak cukup secara normatif saja. Tidak cukup tekstual, tetapi juga kontekstual sosial politik, yang sayangnya cenderung koruptif dan manipulatif.”

“Maka, saya ingin mengajak semua kita, termasuk teman-teman hukum, untuk tidak hanya berfikir tekstual, tetapi juga menolak penurunan syarat umur capres-cawapres menjadi 35 tahun itu, karena hukum tidak boleh dipermainkan, dan disesuaikan dengan syahwat politik siapapun,” tulisnya.

Bagi Deny, kalau nanti MK memutuskan batas umur turun menjadi 35 tahun karena faktor Gibran Jokowi, maka itu artinya MK akan menabrak norma dan etika konstitusional.

“Bahwasanya MK adalah kekuasaan kehakiman yang merdeka, jelas diatur dalam teks konstitusi. Namun, dalam realitas konteksnya, MK yang merdeka harus diperjuangkan, dan dikondisikan bersih dari pengaruh politik kekuasaan, termasuk dari Presiden Jokowi.”

“Saya berpendapat, MK harus dijaga dan dikontrol agar merdeka dari kepentingan politik siapapun yang mendorong peluang pencawapresan Gibran Jokowi,” lanjut Denny.

“Karena PSI tidak bisa dilihat sebagai parpol yang independen, tanpa tegak lurus kepada Jokowi secara pribadi. PSI sudah mempunyai rekam jejak yang panjang untuk selalu sejalur dengan kepentingan politik pribadi Jokowi.”

“Termasuk soal dinasti Jokowi dan pewalikotaan Kaesang di Depok,” demikian Denny.**

 

Leave a Comment